Selain itu, jumlah mahasiswa asing di perguruan tinggi Jepang per Mei 2024 meningkat 21,7 persen dibanding tahun sebelumnya.
Totalnya mencapai 229.467 orang, termasuk 20.015 mahasiswa doktor.
Pemerintah Jepang berencana menghentikan bantuan finansial bagi mahasiswa asing jenjang doktor.
Kebijakan ini memicu banyak kritik dari mahasiswa dan akademisi yang menilai langkah tersebut tidak adil.
Mereka juga menilai hal itu justru merugikan dunia akademik Jepang yang selama ini dikenal inklusif.
Sebelumnya, pemerintah Jepang memberikan tunjangan hidup hingga 2,4 juta yen (sekitar Rp 250 juta) per tahun untuk mahasiswa doktor, baik warga Jepang maupun asing.
Namun, jika disetujui, mulai tahun fiskal 2027 bantuan ini hanya akan diberikan kepada warga Jepang saja.
Emi Omuro, mahasiswa doktor tahun ketiga di Universitas Ochanomizu, menyebut kebijakan ini tidak masuk akal.
Menurutnya, tidak seharusnya ada pembatasan hanya berdasarkan kewarganegaraan, apalagi mengingat mahasiswa asing dan lokal belajar dan bekerja bersama setiap hari.
Awal Juli lalu Omuro menggelar aksi di depan Stasiun JR Ikebukuro, Tokyo, untuk menyuarakan keberatan.
Sekitar 20 mahasiswa, sebagian besar warga Jepang, ikut membawa poster bertuliskan “Jangan Diskriminasi” dan “Akademik Tak Mengenal Batas Negara.”
Baca juga:
Isu ini mulai ramai dibicarakan sejak perdebatan di parlemen pada Maret lalu.
Haruko Arimura, anggota Partai Demokrat Liberal, menyoroti bahwa lebih dari sepertiga penerima bantuan adalah mahasiswa asing.
Ia bahkan secara khusus menyebut mahasiswa asal China, menyatakan kekhawatiran bahwa program doktor di Jepang terlalu bergantung pada mereka, terutama dari sisi keamanan ekonomi nasional.
Menurut data Kementerian Pendidikan, total penerima subsidi pada tahun fiskal 2024 mencapai 10.564 orang, dengan sekitar 39 persen di antaranya mahasiswa asing.
Dari kelompok mahasiswa asing itu, 76 persen berasal dari China.
Selain itu, jumlah mahasiswa asing di perguruan tinggi Jepang per Mei 2024 meningkat 21,7 persen dibanding tahun sebelumnya.
Totalnya mencapai 229.467 orang, termasuk 20.015 mahasiswa doktor.
Hal yang membuat banyak pihak heran, keputusan menghentikan bantuan ini justru berlawanan dengan target pemerintah sendiri.
Jepang sebelumnya menargetkan peningkatan jumlah mahasiswa doktor asing dari 21 persen pada 2023 menjadi 33 persen pada 2033.
Bagi Emi Omuro, kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya melihat mahasiswa sebagai peneliti, bukan manusia biasa yang butuh biaya untuk hidup.
Ia khawatir banyak mahasiswa asing yang nantinya harus mengurangi waktu belajar mereka demi bekerja paruh waktu agar bisa bertahan.
Azusa Karashi, mahasiswa doktor lainnya, juga menyuarakan kekecewaan.
Ia menilai langkah pemerintah ini justru memecah kebersamaan mahasiswa yang selama ini saling belajar dan bertukar ide tanpa memandang latar belakang.
Menurutnya, kebijakan seperti ini hanya akan mempersempit ruang bagi keberagaman.
Profesor Norihiro Nihei dari Universitas Tokyo mengingatkan, jika diskriminasi berbasis kewarganegaraan terus dibiarkan, kualitas akademik Jepang bisa menurun dalam jangka panjang.
Ia mengakui banyak mahasiswa asing yang selama ini berkontribusi lewat ide segar dan pengetahuan spesialisasi mereka, yang akhirnya ikut mengangkat kualitas penelitian di universitas Jepang.
Kekecewaan juga dirasakan langsung oleh mahasiswa asing.
Salah satu mahasiswa pascasarjana asal China di Universitas Tokyo mengaku akhirnya batal melanjutkan ke program doktor karena tidak lagi bisa mengandalkan bantuan biaya hidup.
Padahal, ia sempat berencana mendaftar tahun depan.
Kenaikan harga kebutuhan sehari-hari membuatnya memilih mencari pekerjaan dibanding melanjutkan studi.
Perlu diketahui, program bantuan untuk mahasiswa doktor ini diluncurkan pemerintah Jepang pada tahun fiskal 2021.
Bantuan mencakup biaya hidup antara 1,8 juta hingga 2,4 juta yen per tahun, ditambah biaya riset dan kebutuhan lainnya hingga 2,9 juta yen.
Dengan kebijakan baru nanti, mahasiswa asing hanya akan tetap mendapat dukungan untuk biaya riset.
Yusuke Kazama, dosen di Universitas Prefektural Nara, melihat kebijakan ini sebagai cerminan meningkatnya xenofobia di Jepang.
Menurutnya, kelompok minoritas seperti mahasiswa asing jadi sasaran di tengah menguatnya sentimen nasionalisme.
Kazama menegaskan, mahasiswa internasional yang datang dengan semangat belajar dan memilih Jepang sebagai tempat menimba ilmu seharusnya justru dirangkul, bukan dijauhkan.
Pertanyaan besarnya kini, apakah Jepang siap kehilangan talenta internasional yang selama ini ikut memperkuat dunia akademiknya?
Para mahasiswa dan akademisi berharap pemerintah mau mendengar suara untuk mempertimbangkan ulang keputusan ini demi masa depan pendidikan yang lebih terbuka dan beragam di Jepang.
© Kyodo News
View this post on Instagram