Kalau sedang jalan-jalan ke Jepang, khususnya ke wilayah Harima, ada satu hidangan khas yang layak dicoba yaitu ikan sidat laut panggang atau yaki anago.
Ikan sidat laut dibelah, ditusuk, lalu dipanggang sambil dilumuri saus tare.
Saus tare terbuat dari campuran kecap asin, mirin, gula, dan sake yang dimasak hingga kental.
Proses ini menjaga rasa tetap manis dan gurih tanpa membuat saus gosong. Saat dipanggang, aroma dari saus dan daging anago menyatu dan menggoda selera.
Rasa yaki anago manis dan gurih, dengan tekstur daging yang lembut dan berlemak.
Meski sekarang makin sulit menemukan anago lokal, hidangan ini tetap jadi favorit banyak orang.
Kalau kamu punya stok ikan sidat, bisa dipanggang mengikuti resep dari Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang berikut.
Baca juga:
1 ekor anago segar (berat 70-100 gram)
Kecap asin kental, mirin, gula, dan sake dengan perbandingan 5 : 3 : 1 : 1
(Saus ini bisa digunakan kembali dengan cara ditambah sesuai kebutuhan.)
Belah anago segar dari bagian punggung.
Nyalakan arang atau pemanggang.
Panggang anago dari sisi dagingnya, sambil terus diolesi saus tare selama proses pemanggangan.
Teknik memanggang perlahan dan pengolesan saus yang bertahap akan memberikan rasa yang meresap dan permukaan yang sedikit karamelisasi.
Meski sederhana, proses ini butuh ketelatenan agar rasa maksimal.
Konon, yaki anago mulai dikenal luas pada 1905-an.
Saat itu, pemilik generasi pertama sebuah toko tua di Kota Takasago memperkenalkannya setelah pulang dari Perang Rusia-Jepang.
Sejak saat itu, yaki anago berkembang jadi makanan yang lekat dengan kehidupan masyarakat Harima.
Laut Pedalaman Harima dikenal sebagai salah satu wilayah penangkapan anago terbesar di Jepang.
Arus laut yang pas, bentuk geografis yang mendukung, serta nutrisi dari banyak sungai membuat kawasan ini jadi habitat ideal bagi ma-anago.
Spesies ini terkenal karena dagingnya yang empuk dan kandungan lemaknya yang tinggi. Tak heran jika masyarakat setempat sangat menggemarinya.
Menariknya, di Prefektur Hyogo, anago bahkan lebih disukai dibanding unagi atau ikan sidat air tawar.
Tapi dalam beberapa tahun terakhir, jumlah tangkapan anago lokal terus menurun.
Perubahan lingkungan, reklamasi lahan, dan penangkapan berlebihan jadi penyebab utamanya.
Kini, sebagian besar pasokan bergantung pada impor dari Korea dan Tiongkok. Sementara itu, anago hasil tangkapan lokal makin jarang dijumpai di pasar.
Namun, yaki anago tetap hadir dalam berbagai momen penting masyarakat setempat.
Di rumah, ikan sidat panggang ini biasanya dimakan langsung dari tusukannya.
Tak jarang juga dijadikan isian makizushi (sushi gulung) atau chirashizushi (sushi campur).
Hidangan ini sebenarnya bisa dinikmati sepanjang tahun. Namun, musim terbaik untuk menyantap ma-anago biasanya berlangsung dari Juli sampai September.
Di luar musim itu pun, yaki anago tetap jadi pilihan saat perayaan akhir tahun, tahun baru, setsubun, hingga festival.
Tak hanya disantap di rumah atau restoran, yaki anago juga sering dibeli sebagai oleh-oleh.
Banyak orang memilihnya sebagai bingkisan karena rasanya enak dan tampilannya yang menarik.
Meskipun pasokan anago lokal menipis, sejumlah pihak terus berupaya menjaga keberlanjutan spesies ini.
Salah satu caranya adalah dengan memantau kondisi benih anago di alam.
Selain itu, nelayan juga mulai menggunakan jaring tarik bawah dengan ukuran mata jaring lebih besar agar benih atau ikan kecil bisa lolos.
Di Kota Himeji, Asosiasi Nelayan bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam membudidayakan anago tahap menengah.
Setelah cukup besar, ikan sidat ini dilepas kembali ke laut dalam program restocking untuk menjaga populasi tetap seimbang.
Sumber:
Konten disediakan oleh Karaksa Media Partner (Juli 2025)
View this post on Instagram