Ohayo Jepang
Powered by

Share this page

Worklife

Kisah Pria Asal Malang Jadi Pemilik Kafe di Jepang, Berawal dari Kerja Pabrik

Kompas.com - 21/06/2025, 16:59 WIB

Transformasi hidup Swasta Putra Dianto (42) asal Kota Malang, menjadi bukti bahwa kerja keras dan mimpi yang kuat mampu mengubah nasib di Jepang. 

Setelah lebih dari 16 tahun merantau di Jepang, pria yang akrab disapa Ian ini berhasil mewujudkan cita-citanya dengan mendirikan Garuda Cafe, sebuah ruang komunal bagi diaspora Indonesia di Tokyo.

Perjalanannya di Jepang juga ditandai dengan diperolehnya status permanent resident setelah lima tahun menetap, yang memberinya ketenangan dan kemudahan dalam beraktivitas.

Namun, perjalanan Ian tidaklah instan.

Ia melalui berbagai profesi, mulai dari pemandu wisata di Bali, pekerja proyek, hingga operator mesin di pabrik, sebelum akhirnya menjadi pengusaha kuliner.

Swasta Putra Dianto (kiri) asal Kota malang merupakan salah satu owner Garuda Cafe, kafe Indonesia di Tokyo, Jepang.
Swasta Putra Dianto (kiri) asal Kota malang merupakan salah satu owner Garuda Cafe, kafe Indonesia di Tokyo, Jepang.

Bermula dari Bali dan Hijrah ke Jepang

Kisah Ian di Negeri Sakura diawali dari perjalanannya di Bali. 

Selama lebih kurang 10 tahun, ia bekerja sebagai pemandu wisata, profesi yang membuatnya sedikit banyak menguasai dasar-dasar Bahasa Jepang.

Pulau Dewata pula yang mempertemukan Ian dengan dengan jodohnya, perempuan asal Jepang yang kini menjadi istrinya.

Setelah menikah di Bali, Ian hijrah ke Jepang menggunakan visa pasangan (spouse or child of Japanese national visa) sekitar musim panas 2009.

Adaptasi di negara baru menjadi tantangan pertama.

Ia dihadapkan pada perbedaan budaya, terutama soal kedisiplinan dan ketepatan waktu yang sangat tinggi.

"Setelah sampai ke Jepang ya pasti beda budaya, beda semuanya. Bingung, stres itu pasti ada. Kurang lebih untuk menyesuaikan diri di Jepang mungkin satu tahun ya," jelas Ian saat dihubungi Ohayo Jepang, (21/6/205).

Tantangan lainnya datang dari hal yang sederhana tetapi mendasar baginya, yaitu makanan.

Sebagai orang Indonesia, ia terbiasa dengan makanan bercita rasa pedas dan kaya bumbu.

"Kalau orang Indonesia kan sudah terbiasa dengan sambal itu kan," ujar Ian.

Kesulitan menemukan bahan makanan seperti cabai sempat menjadi tantangan baginya.

Sebuah momen di daerah Ueno menjadi titik baliknya. Saat diajak mertuanya ke sebuah toko milik orang Chia, ia menemukan cabai.

"Setelah saya lihat cabai ini kayak melihat emas gitu. Di situ lah mengira ini kalau ada cabai bisa lah aku bertahan di Jepang," kenang Ian.

Pengalaman sulitnya mencari makanan dan tempat berkumpul yang nyaman bagi orang Indonesia di masa itu, menumbuhkan sebuah mimpi dalam benaknya.

Ia bertekad, jika suatu saat berhasil di Jepang, ia ingin membangun sebuah kafe atau restoran yang bisa menjadi titik kumpul bagi komunitas Indonesia.

Baca juga:

Swasta Putra Dianto alias Ian ketika bekerja di pabrik Jepang. Kini, Ian menggeluti bisnis kuliner dengan mendirikan Garuda Cafe di Tokyo, Jepang.
Swasta Putra Dianto alias Ian ketika bekerja di pabrik Jepang. Kini, Ian menggeluti bisnis kuliner dengan mendirikan Garuda Cafe di Tokyo, Jepang.

Belasan Tahun di Dunia Pabrik

Langkah pertama Ian di dunia kerja Jepang adalah di sebuah gemba (proyek lapangan), pekerjaan yang ia lakoni selama sekitar satu bulan.

Bekerja di luar ruangan saat musim panas yang terik dan menjadi satu-satunya orang Indonesia menjadi tantangan tersendiri baginya.

Atas informasi dari seorang teman, ia kemudian beralih menjadi pekerja pabrik. 

Pekerjaan pertamanya adalah di sebuah pabrik manufaktur barang dari plastik di Yokohama.

Di sana, ia merasa lebih bersemangat karena bertemu dengan banyak rekan kerja dari Indonesia.

Namun, tantangannya adalah jarak. Ia harus menempuh perjalanan satu setengah jam dari rumahnya di Tokyo ke tempat kerja.

Setelah lima tahun bekerja, Ian menghadapi dilema. Sang istri yang selama ini selalu mendukung perjalanan hidup dan karirnya baru saja melahirkan.

Durasi perjalanan pulang pergi ke tempat kerja dan pekerjaan yang terkadang mengharuskan Ian lembur, membuatnya jarang bertemu istri dan anak.

Ia lantas memutuskan pindah ke pabrik lain yang lokasinya lebih dekat dari rumah, hanya 10 menit dengan sepeda dari rumahnya.

Selama enam tahun, Ian bekerja di pabrik yang memproduksi tutup botol plastik itu.

Tantangan baru pun muncul. Mesin di pabrik tersebut menggunakan instruksi dalam huruf kanji, yang tidak ia kuasai.

Namun, dengan tekad untuk belajar, ia menyiasatinya dengan mencatat dan menerjemahkan tulisan kanji tersebut ke dalam Bahasa Indonesia agar bisa mengoperasikan mesin.

Interior Garuda Cafe, kafe Indonesia di kawasan Stasiun JR Kamata, Tokyo, Jepang.
Interior Garuda Cafe, kafe Indonesia di kawasan Stasiun JR Kamata, Tokyo, Jepang.

Wujudkan Mimpi Bernama Garuda Cafe

Sambil bekerja di pabrik kedua, Ian mulai merintis jalan menuju mimpinya. 

Ia mendapat tawaran mengelola bar milik kakak iparnya.

"Saya ditawarin buka bar waktu awal mulanya. Di bar ini punyanya kakak ipar, sudah mau habis kontrak. Waktu itu masih ada sisa lima bulan. Di situ akhirnya saya yang jaga, daripada enggak dipakai," terang Ian.

Sembari mengelola bar pada malam hari, ia juga mengambil pekerjaan paruh waktu di sebuah gemba.

Di sana, Ian bekerja bersama orang Indonesia, atasannya pun teman seperjuangannya di Bali.

Bar kecil yang ia kelola menjadi tempat teman-temannya berkumpul.

Melihat antusiasme teman-temannya, ia semakin terdorong untuk menciptakan tempat yang lebih besar dan nyaman.

Sembari mengelola bar, Ian bertemu seorang teman Jepang yang dikenalnya saat berselancar bersama di Bali.

"Akhirnya ketemu lagi di Jepang. Terus saya sering mengajak dia setiap ada acara komunitas. Saya undang dia, 'ayo ngumpul bareng'. Kita ngumpul bareng sama orang Indonesia. Terus ada acara Indonesia Festival, sering saya undang juga," jelas Ian tentang caranya membangun pertemanan.

Melihat Ian sukses mengelola bar yang ramai tetapi berkapasitas terbatas, temannya menyarankan agar Ian membuka kafe sendiri.

"Kalau saya sendiri sih, saya enggak sanggup. Dari segi modal juga, modalnya gede. Terus kalau pakai nama saya sendiri juga susah. Sekarang saya juga orang asing," terang Ian menjawab pertanyaan sang teman.

"Akhirnya yaudah, 'kalau mau yuk kita jalan bareng'. Terus dia juga, kebetulan juga senang masakan Indonesia ya," lanjut Ian.

Swasta Putra Dianto, pemilik Garuda Cafe di Tokyo, Jepang, ketika berjualan di Indonesia Festival.
Swasta Putra Dianto, pemilik Garuda Cafe di Tokyo, Jepang, ketika berjualan di Indonesia Festival.

Proses pencarian lokasi untuk kafenya memakan waktu hingga dua tahun.

Ia melakukan survei ke berbagai tempat, termasuk Ueno, tetapi banyak yang tidak cocok karena harga sewa yang mahal atau tempat yang terlalu kecil.

Akhirnya, ia menemukan lokasi yang tepat di Kamata, Tokyo.

Lokasi ini strategis, hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari rumahnya dan tiga menit dari stasiun kereta JR Kamata

Kafe yang menyediakan masakan Nusantara ini pun dapat dicapai dalam 20 menit naik taksi dari Bandara Haneda.

Swasta Putra Dianto, pemilik Garuda Cafe di Tokyo, Jepang, bersama komunitas diaspora Indonesia di Jepang.
Swasta Putra Dianto, pemilik Garuda Cafe di Tokyo, Jepang, bersama komunitas diaspora Indonesia di Jepang.

Simfoni Rasa dan Komunitas

Kini, Garuda Cafe yang Ian kelola sepenuhnya telah berdiri sejak 2024.

Kafe ini dapat menampung 60 hingga 100 pengunjung dan dirancang sebagai pusat komunitas diaspora Indonesia.

Berbeda dari restoran lain, Garuda Cafe menyediakan fasilitas tambahan seperti musala dan karaoke, memberikan hiburan tambahan bagi pengunjung.

Pertunjukan tari tradisional Indonesia juga rutin diadakan di Garuda Cafe.

"Kayak setiap bulan, berapa bulan sekali kan saya selalu mengundang penari. Penari Bali, dari Jawa, dari Sumatera kadang-kadang itu," kata Ian.

Ayam geprek, menu Garuda Cafe paling laris di antara pengunjung Indonesia.
Ayam geprek, menu Garuda Cafe paling laris di antara pengunjung Indonesia.

Cita rasa yang disajikan pun otentik Indonesia, tidak disesuaikan dengan lidah lokal. Koki yang mengolah masakan di Garuda Cafe pun berasal dari Ponorogo, Jawa Timur.

Menu seperti ayam geprek menjadi yang paling laris di kalangan pelanggan Indonesia.

Sementara nasi goreng, nasi campur, dan mi goreng populer jadi favorit pelanggan dari kalangan warga Jepang.

Sementara untuk bahan baku, kini ia tidak terlalu kesulitan karena sudah banyak penjual produk Indonesia yang tersedia secara daring di Jepang.

Salah satu tantangan terkini yang dihadapi Ian adalah kelangkaan dan kenaikan harga beras, mencapai dua kali lipat lebih daripada lima bulan lalu.

Nasi campur, salah satu menu favorit pengunjung Jepang di Garuda Cafe, Tokyo.
Nasi campur, salah satu menu favorit pengunjung Jepang di Garuda Cafe, Tokyo.

Meski demikian, ia untuk saat ini memutuskan tidak menaikkan harga demi para pelanggan.

Bagi Ian, Garuda Cafe bukan sekadar bisnis melainkan perwujudan mimpi panjangnya untuk menyediakan "rumah" bagi masyarakat Indonesia di Jepang.

Tempat berkumpul, menikmati hidangan khas Tanah Air, dan melepas rindu.

          View this post on Instagram                      

A post shared by Ohayo Jepang (@ohayo_jepang)

Halaman:
Editor : YUHARRANI AISYAH

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
 
Pilihan Untukmu
Close Ads

Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.