Afrianto Santoso (30), mantan pekerja migran Indonesia (PMI) asal Bengkulu, sukses mendirikan Lembaga Pendidikan dan Keterampilan (LPK) Kaizu Hamagi Gakkou di Kota Bengkulu.
Pengalaman bekerja di Jepang selama tiga tahun menjadi motivasi baginya untuk membantu calon PMI agar lebih siap sebelum berangkat ke Negeri Sakura.
Melansir berita Kompas.com, Afrianto menyewa empat ruko yang disulap menjadi ruang kelas dan kantor.
Suasana khas Jepang terasa di tempat ini dengan cat merah bermofit matahari terbit.
Afrianto merupakan alumnus SMKN 2 Padang Harapan angkatan 2013.
Setelah lulus, ia ingin melanjutkan kuliah di bidang pendidikan, tetapi keterbatasan biaya membuatnya harus mencari pekerjaan.
"Maunya kuliah di bidang pendidikan. Namun, adik-adik masih sekolah, saya anak pertama, saya putuskan bekerja. Saya bingung kerja apa," ujarnya.
Ia sempat bekerja sebagai sekuriti di mal dan sales sebelum mendapat saran untuk bekerja di Jepang.
Namun, informasi tentang peluang kerja di Jepang saat itu masih minim di Bengkulu.
"Tak pernah terpikirkan ke Jepang kala itu karena tahun 2016 ke bawah di Bengkulu minim informasi soal kerja di Jepang. Selain itu, banyak penipuan yang dialami TKI," ucapnya.
Menurut Afrianto, di Bengkulu kala itu, kalau mau kerja di Jepang harus mempunyai dana sekitar Rp 80 juta. Ia mengaku tidak mampu saat itu.
Akhirnya, ia memutuskan untuk belajar bahasa Jepang di Sukoharjo, Jawa Tengah, sambil mencari peluang kerja.
Namun, tantangan baru muncul karena ada stigma negatif terhadap PMI asal Bengkulu.
"Saat itu, ada imej negatif TKI ke Jepang asal Bengkulu, semacam di-blacklist karena kerap bekerja melanggar kontrak atau pindah tempat kerja sebelum kontrak habis. Ini berimbas ke saya," ungkapnya.
Ada yang menyarankan agar ia mengganti KTP Bengkulu agar lebih mudah berangkat.
Namun, Afrianto menolak hal itu karena ia ingin memperbaiki citra bengkulu.
Akhirnya, setelah melalui seleksi ketat, ia bisa berangkat ke Jepang sebagai ahli pengelasan untuk scaffolding.
Baca juga:
Afrianto berangkat ke Jepang dengan visa magang dan menjalani pelatihan selama satu bulan sebelum mulai bekerja secara resmi.
Ia menerima gaji bersih Rp 13 juta hingga Rp 15 juta per bulan, setelah dipotong pajak dan biaya tempat tinggal.
"Itu sudah bersih, potong pajak, rumah, dan lainnya," jelasnya.
Tahun pertama menjadi masa sulit baginya karena harus bekerja sambil belajar serta mengembalikan modal keberangkatan.
Ia bekerja dari 08.00 WIB hingga 17.00 WIB setiap hari.
Kontrak kerja sebenarnya berakhir pada 2020, tetapi pandemi Covid-19 membuatnya harus bertahan lebih lama di Jepang.
Dengan visa Tokutei Katsudo, ia diizinkan tetap tinggal dan bekerja selama enam bulan. Pada 2021, ia kembali ke Bengkulu.
Selama di Jepang, Afrianto juga membantu beberapa orang Bengkulu lainnya mendapatkan pekerjaan di sana.
"Saya tidak mau kawan-kawan yang ingin kerja di Jepang ditipu, maka saya bagi pengalaman. Alhamdulillah berhasil, dari pengalaman itulah saya dirikan LPK," ujarnya.
Afrianto mendirikan LPK Jepang bernama Kaizu Hamagi Gakkou pada 2022.
Tujuannya, memberikan informasi dan konsultasi bagi calon pekerja agar mereka lebih siap dan tidak tertipu.
"Pelan-pelan muridnya banyak. Ada 250 alumnus serta 50 orang sudah mendapatkan pekerjaan di Jepang. Animo masyarakat tinggi. Tidak saja dari Bengkulu, ada Sumsel dan Sumut muridnya," jelasnya.
Di LPK ini, Afrianto dibantu oleh delapan tenaga pengajar yang sebagian besar adalah mantan PMI Jepang asal Bengkulu yang telah mendapatkan sertifikasi.
Selain mendidik calon pekerja migran, Afrianto juga berhasil mendatangkan investor Jepang ke Bengkulu.
"Baru-baru ini kami fasilitasi investor konstruksi terbesar di Tokyo bertemu dengan Gubernur Bengkulu. Mereka berminat melakukan investasi pada konstruksi, perumahan, pariwisata, dan air bersih," jelasnya.
Afrianto juga mengembangkan konsep sister city antara Bengkulu dan Jepang.
"Pemerintah Kota Hiroshima sudah berkomunikasi dengan bupati terpilih Bengkulu Tengah, Pak Rachmat Riyanto, untuk menggagas sister city. Termasuk wali kota Bengkulu terpilih," ujarnya.
Menurutnya, Jepang sangat tertarik berinvestasi di Bengkulu karena potensi besar di sektor wisata, budaya, dan infrastruktur.
Afrianto juga menegaskan bahwa Jepang masih memiliki kebutuhan besar akan tenaga kerja asal Indonesia.
Berdasarkan penuturan Afrianto, Jepang saat ini membutuhkan 823.000 pekerja dari Indonesia.
Pria ini juga dipercaya melatih 80 pemuda Bengkulu Tengah dalam bahasa Jepang.
Pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah bahkan mengalokasikan anggaran khusus untuk program ini.
"Kami diberi juga amanah memberikan pendidikan bahasa Jepang di Kabupaten Bengkulu Tengah. Mudah-mudahan akan banyak nanti yang bisa bekerja di Jepang," tutupnya.
Perjalanan Afrianto dari seorang PMI hingga menjadi pendidik dan penghubung investasi menunjukkan bahwa pengalaman kerja di luar negeri dapat menjadi modal untuk membangun daerah asal.
Melalui LPK Kaizu Hamagi Gakkou, ia membantu calon PMI sekaligus membuka peluang besar bagi Bengkulu di mata investor Jepang.
Baca juga:
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Eks Pekerja Migran Bengkulu, Pulang Kampung Bangun Lembaga Pelatihan hingga Gaet Investor Jepang", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2025/01/16/153702778/kisah-eks-pekerja-migran-bengkulu-pulang-kampung-bangun-lembaga-pelatihan?page=all# (Penulis: Firmansyah/Editor: Eris Eka Jaya)
View this post on Instagram