Menurut Afrianto, di Bengkulu kala itu, kalau mau kerja di Jepang harus mempunyai dana sekitar Rp 80 juta. Ia mengaku tidak mampu saat itu.
Akhirnya, ia memutuskan untuk belajar bahasa Jepang di Sukoharjo, Jawa Tengah, sambil mencari peluang kerja.
Namun, tantangan baru muncul karena ada stigma negatif terhadap PMI asal Bengkulu.
"Saat itu, ada imej negatif TKI ke Jepang asal Bengkulu, semacam di-blacklist karena kerap bekerja melanggar kontrak atau pindah tempat kerja sebelum kontrak habis. Ini berimbas ke saya," ungkapnya.
Ada yang menyarankan agar ia mengganti KTP Bengkulu agar lebih mudah berangkat.
Namun, Afrianto menolak hal itu karena ia ingin memperbaiki citra bengkulu.
Akhirnya, setelah melalui seleksi ketat, ia bisa berangkat ke Jepang sebagai ahli pengelasan untuk scaffolding.
Baca juga:
Afrianto berangkat ke Jepang dengan visa magang dan menjalani pelatihan selama satu bulan sebelum mulai bekerja secara resmi.
Ia menerima gaji bersih Rp 13 juta hingga Rp 15 juta per bulan, setelah dipotong pajak dan biaya tempat tinggal.
"Itu sudah bersih, potong pajak, rumah, dan lainnya," jelasnya.