Tinggal di Jepang menghadirkan kesempatan unik untuk merasakan musim-musim berbeda di negara ini yang sangat melekat dalam budaya, gaya hidup, dan rutinitas harian.
Transisi dari musim panas ke musim gugur adalah salah satu perubahan musim paling mencolok, ditandai dengan perubahan suhu, jam siang, dan bahkan kebiasaan budaya yang dramatis.
Perubahan musim di Jepang terasa secara fisik serta cara orang berpakaian, berperilaku, dan mengatur kehidupan sehari-hari mereka.
Saat hari-hari musim panas yang panas dan lembap berganti menjadi udara musim gugur yang lebih sejuk dan segar, hingga suhu musim dingin yang dingin.
Artikel ini membahas perubahan cuaca yang drastis dari musim panas ke musim gugur, dengan mengkaji perubahan suhu, respons budaya, dan saran praktis untuk mengatasi transisi yang signifikan ini.
Transisi dari musim panas ke musim gugur di Jepang berlangsung cepat dan terkadang mengejutkan.
Pada akhir September, negara ini mengalami ekuinoks musim gugur yang dikenal sebagai Shūbun no Hi (秋分の日) yang merupakan hari libur umum.
Ekuinoks menandai titik ketika siang dan malam kira-kira sama panjangnya, melambangkan penurunan bertahap ke bulan-bulan yang lebih dingin dan lebih gelap.
Ekuinoks juga merupakan periode yang sering kali membawa perubahan suhu yang drastis.
Di Tokyo, misalnya, suhu pada awal September dapat berkisar sekitar 30 derajat Celsius, sedangkan pada akhir Oktober, suhu turun menjadi sekitar 16 derajat Celsius.
Penurunan tajam ini dalam hitungan minggu membuat penting untuk bersiap menghadapi hari-hari yang panas dan dingin, karena cuaca tidak dapat diprediksi selama periode ini.
Selama lima tahun terakhir, Tokyo telah melihat pola serupa selama ekuinoks musim gugur, dengan penurunan suhu rata-rata sekitar 10 derajat Celsius.
Sebagai perbandingan, wilayah lain di Jepang mengalami fluktuasi yang lebih ekstrem.
Wilayah utara seperti Hokkaido, misalnya, dapat mengalami penurunan suhu yang signifikan sejak pertengahan September, dengan suhu berkisar antara 20 derajat Celsius pada siang hari hingga di bawah 10 derajat Celsius pada malam hari.
Sementara itu, wilayah selatan seperti Kyushu dan Okinawa mempertahankan suhu yang lebih hangat lebih lama tetapi masih mengalami tanda-tanda musim gugur pada bulan Oktober.
Perubahan signifikan lainnya selama transisi dari musim panas ke musim gugur adalah seberapa cepatnya hari-hari memendek.
Di musim panas, terutama pada bulan Juni dan Juli, siang hari dapat diperpanjang hingga pukul 7 atau 8 malam di banyak bagian Jepang.
Namun, pada saat ekuinoks tiba pada bulan September, matahari terbenam semakin awal, sering kali terjadi sebelum pukul 6 sore pada pertengahan Oktober.
Perubahan jam siang hari ini memengaruhi rutinitas harian, mulai dari saat orang meninggalkan kantor hingga bagaimana mereka merencanakan kegiatan rekreasi mereka.
Hari-hari yang lebih pendek adalah pengingat yang jelas bahwa musim dingin sudah dekat, dan hiruk pikuk musim panas berganti menjadi irama musim gugur yang lebih tenang.
Berjalan pulang dari kantor atau sekolah dalam keadaan hampir gelap dapat terasa sangat kontras dengan malam musim panas yang cerah dan semarak.
Cepatnya kegelapan juga memengaruhi aktivitas luar ruangan, karena orang harus menyesuaikan diri dengan jam siang hari yang lebih pendek.
Bagi mereka yang gemar berolahraga di luar ruangan atau jalan-jalan sore, perubahan ini bisa sangat terasa.
Malam yang tadinya cerah berubah menjadi malam yang lebih dingin dan gelap, menciptakan suasana yang tenang dan sunyi.
Baca juga:
Sebagai seseorang yang telah tinggal di Jepang selama enam bulan, mengalami transisi mendadak dari musim panas ke musim gugur ini sungguh membuka mata.
Beberapa minggu pertama bulan September terasa seperti perpanjangan musim panas, dengan hari-hari yang panas dan lembap serta sedikit tanda bahwa musim gugur akan segera tiba.
Namun, begitu ekuinoks tiba, suhu turun dengan cepat, dan tiba-tiba saya merasa ingin mengenakan pakaian yang lebih hangat.
Aspek yang paling mengejutkan dari transisi ini bagi saya adalah ketidakpastian cuaca.
Suatu hari, cuaca bisa cukup hangat untuk mengenakan baju lengan pendek, dan hari berikutnya, saya perlu mengenakan jaket.
Ini adalah periode penyesuaian yang konstan, baik secara fisik maupun mental, karena saya belajar mengantisipasi pagi dan malam yang lebih dingin meskipun siang hari masih relatif hangat.
Bagi umat Muslim yang tinggal di Jepang, peralihan dari musim panas ke musim gugur membawa perubahan yang nyata dalam jadwal salat.
Saat hari-hari semakin pendek dan matahari terbenam lebih awal, waktu salat Magrib pun berubah drastis.
Di puncak musim panas, Magrib mungkin sekitar pukul 7 malam, tetapi pada pertengahan musim gugur, waktu salat dapat turun hingga pukul 5.30 sore.
Perubahan waktu salat ini memerlukan penyesuaian rutinitas harian, terutama bagi mereka yang terbiasa dengan jadwal yang lebih konsisten sepanjang musim panas.
Matahari terbenam lebih awal juga berarti Isya (salat malam) menyusul lebih awal, membuat malam terasa lebih singkat karena kedua salat tersebut dilakukan berdekatan.
Seiring berjalannya musim gugur, suhu terus menurun, menandakan perlunya persiapan untuk bulan-bulan yang lebih dingin ke depannya.
Meskipun musim gugur di Jepang menyenangkan, dengan suhu yang sejuk dan dedaunan yang indah, musim gugur juga menjadi pengingat bahwa musim dingin sudah dekat.
Berikut ini beberapa perlengkapan penting yang harus kamu bawa saat cuaca mulai dingin:
1) Jaket dan Sweter Ringan: Awal musim gugur masih cukup hangat untuk mengenakan pakaian tipis, tetapi pada pertengahan Oktober, kamu perlu menyiapkan jaket atau sweter untuk menghadapi pagi dan malam yang lebih dingin.
2) Syal dan Sarung Tangan: Saat suhu semakin turun di bulan November, sebaiknya Anda mulai membawa syal dan sarung tangan agar tetap hangat selama perjalanan yang dingin.
3) Perlengkapan Tidur Musim Dingin: Saat malam semakin dingin, mengganti perlengkapan tidur musim panas dengan selimut atau selimut tebal akan memastikan tidur malam yang nyaman.
Musim dingin di Jepang bisa sangat dingin, terutama di wilayah seperti Hokkaido, tempat salju turun lebat.
Bahkan di Tokyo, angin musim dingin bisa sangat dingin, jadi penting untuk menyiapkan pakaian musim dingin Anda jauh-jauh hari.
Salah satu perubahan paling signifikan antara musim panas dan musim gugur adalah berkurangnya jam siang.
Pada bulan Juni dan Juli, Jepang menikmati hari-hari musim panas yang panjang dengan waktu siang hari hingga 14 jam.
Namun, pada saat musim gugur tiba, waktu siang hari menyusut menjadi sekitar 11 jam, dan pada bulan November, beberapa daerah memiliki waktu siang hari kurang dari 10 jam.
Perbedaan ini terutama terlihat bagi mereka yang bekerja dalam waktu yang lama.
Tidak jarang orang meninggalkan rumah di pagi hari saat hari masih gelap dan kembali ke rumah setelah matahari terbenam, sehingga memberi kesan bahwa sepanjang hari telah dihabiskan dalam kegelapan.
Kurangnya waktu siang hari ini dapat memengaruhi suasana hati dan tingkat energi orang, sehingga transisi ke musim dingin terasa lebih terasa.
Di Jepang, perubahan musim memiliki pengaruh langsung pada cara orang berpakaian.
Saat musim gugur tiba, terjadi pergeseran budaya dalam lemari pakaian, dengan pakaian musim panas yang lebih ringan disimpan dan digantikan dengan kain yang lebih hangat dan lebih berat.
Rumah tangga Jepang umumnya memiliki lemari pakaian terpisah untuk musim yang berbeda.
Selama bulan-bulan musim panas, orang menyimpan pakaian musim dingin mereka, seperti mantel, sweter, dan pakaian termal, di tempat penyimpanan yang telah ditentukan.
Saat musim gugur tiba, ada ritual mengganti pakaian musim panas dengan pakaian musim dingin.
Praktik ini merupakan cerminan rasa hormat orang Jepang yang mendalam terhadap musim, di mana setiap periode dalam setahun dipandang sebagai kesempatan untuk menyegarkan dan menyelaraskan kembali gaya hidup seseorang dengan alam.
Mode musim gugur di Jepang ditandai dengan lapisan, dengan syal, topi, dan sepatu bot yang menjadi populer saat cuaca mendingin.
Pakaian tradisional Jepang, seperti kimono dan yukata, juga beradaptasi dengan musim, dengan bahan yang lebih berat digunakan untuk musim gugur dan musim dingin.
Perhatian terhadap perubahan musim dalam pakaian ini sangat mengakar dalam budaya Jepang, di mana perubahan cuaca bukan hanya masalah praktis tetapi juga cerminan ritme alami kehidupan.
Pengamatan budaya lain di Jepang adalah kepraktisan memiliki lemari pakaian terpisah untuk musim yang berbeda.
Selama bulan-bulan musim panas yang terik, orang-orang menyimpan pakaian musim dingin mereka yang berat demi kain yang ringan dan menyerap keringat.
Begitu cuaca dingin musim gugur tiba, terjadilah perubahan, lemari pakaian ditata ulang, dan keluarlah jaket, sweter, dan lapisan termal.
Penataan musiman ini adalah sesuatu yang membuat saya terpesona sebagai pendatang baru di Jepang.
Di Indonesia, yang beriklim tropis dan relatif konsisten sepanjang tahun, tidak banyak kebutuhan akan lemari pakaian musiman.
Namun, di Jepang, yang musimnya lebih jelas, orang-orang biasanya mengatur pakaian mereka dengan hati-hati tergantung pada musimnya.
Praktik ini tidak hanya mencerminkan kebutuhan praktis untuk tetap nyaman dalam kondisi cuaca yang berbeda, tetapi juga menyoroti penekanan budaya Jepang pada harmoni dengan alam.
Peralihan dari musim panas ke musim gugur, lalu musim dingin di Jepang merupakan periode perubahan yang signifikan, baik dari segi cuaca maupun gaya hidup.
Penurunan suhu yang cepat, jam siang yang lebih pendek, dan perubahan pakaian, semuanya menandakan datangnya musim dingin.
Bagi pendatang baru seperti saya, perubahan ini dapat terasa tiba-tiba dan dramatis, tetapi perubahan ini juga merupakan pengingat akan hubungan mendalam Jepang dengan alam.
Tinggal di Jepang telah mengajarkan saya untuk menghargai cara-cara halus namun kuat di mana musim memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Baik itu menyesuaikan diri dengan matahari terbenam yang lebih awal, bersiap menghadapi cuaca yang lebih dingin, atau merangkul praktik budaya yang menyertai musim gugur, perubahan musim menawarkan kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan alam dan merangkul keindahan setiap periode dalam setahun.
Ulasan di atas disampaikan oleh Hoshimachi Yozora, WNI yang kerja di Tokyo. Ia suka menonton Anime, bermain game, dan menjelajahi tempat-tempat yang kurang dikenal di Tokyo, terutama lokasi-lokasi yang ditampilkan dalam Anime.
Konten disediakan oleh Karaksa Media Partner (Desember 2024)
View this post on Instagram