“Aku pernah ambil cuti sampai satu bulan penuh. Tapi, itu nggak full cuti, sekitar 3 minggu cuti dan ditambah 1 minggu ada hari-hari libur biasa," ujar Aya.
Selama satu bulan itu, ia pulang kampung ke Indonesia untuk merayakan Lebaran.
Sekitar 2 hingga 3 tahun pertama, tidak ada partner pada divisi Aya sehingga ia menyelesaikan dulu pekerjaannya baru cuti. Sekarang, ia dapat membagi pekerjaan dengan rekan satu timnya.
Selain itu, Aya juga membuat pesan email otomatis dengan pesan ia sedang libur dan kapan kembali bekerja.
Rekan kerja atau pelanggan yang mengirimnya email bakal mendapatkan balasan otomatis itu, membantu mereka memahami situasi Aya.
Namun, menurut Aya yang beberapa kali mengambil cuti untuk keperluan rekreatif, alasan ini tidak familiar untuk rekan kerjanya yang orang Jepang.
Mereka cenderung lebih memilih mengambil cuti untuk alasan yang dianggap penting, seperti keperluan keluarga atau kesehatan.
Pasalnya, ada perasaan tidak ingin merepotkan orang lain.
“Waktu aku bilang ke rekan kerja Jepang bahwa aku mau cuti untuk liburan, mereka terlihat kaget. Buat mereka, cuti lebih sering digunakan untuk urusan serius, bukan sekadar untuk main,” cerita Aya sambil tertawa.
Meski ada budaya untuk mengambil cuti untuk keperluan penting atau mendesak, beberapa perusahaan di Jepang menunjukkan dukungan karyawan agar mengambil cuti mereka.