Saya sudah tinggal di Tokyo, Jepang, selama hampir setahun ini. Meski sudah agak terbiasa dengan kehidupan di sini, selalu saja ada hal-hal baru yang mengejutkan.
Salah satunya adalah cara orang Jepang mengelola sampah dan barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi.
Di Indonesia, kita terbiasa membuang barang-barang yang sudah tidak dibutuhkan begitu saja tanpa pikir panjang
Namun, di Jepang, ada banyak aturan membuang sampah, terutama barang-barang besar atau barang elektronik.
Baca juga: Mottainai, Contek Tradisi Jepang Dalam Menjaga Lingkungan
Saya tinggal di gedung apartemen sepuluh lantai di kawasan Tokyo. Segala sesuatu di sini tertata rapi, termasuk cara orang Jepang menangani sampah.
Setiap jenis sampah memiliki jadwal dan tempat pengumpulan yang berbeda.
Bahkan barang-barang besar seperti furnitur atau barang elektronik harus dibawa ke tempat pengumpulan khusus.
Selain itu, kamu juga bisa membayar biaya untuk membuang barang-barang berukuran besar.
Awalnya, saya merasa agak repot karena membuang barang di Indonesia tidak serumit ini.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya jadi paham bahwa semua prosedur ini ada untuk menjaga kebersihan dan ketertiban di kota padat seperti Tokyo.
Suatu hari, sepulang kerja, saya naik lift ke apartemen saya. Begitu keluar dari lift, saya melihat tetangga sedang sibuk merapikan barang di depan kamarnya.
Tiba-tiba, dia memanggil saya dan menawarkan beberapa barang yang tampaknya sudah tidak lagi dibutuhkannya.
"Ini masih bagus, kamu butuh? Ambil saja, gratis," katanya dengan ramah.
Awalnya, saya ragu karena saya cenderung agak pemalu dan tidak terbiasa menerima barang gratis dari orang yang baru dikenal.
Namun, setelah mengobrol sebentar, saya tahu bahwa dia akan pindah dari apartemen dan tidak membutuhkan barang-barang itu lagi.
Tanpa pikir panjang, saya pun menerima tawaran itu.
Saat saya membawa barang-barang tersebut ke kamar, saya teringat betapa rumitnya proses pembuangan barang-barang besar di Jepang.
Saya berpikir, "Mungkin ini cara yang lebih mudah daripada mengikuti jadwal pembuangan atau membayar biaya pengangkutan".
Baca juga: Budaya Mottainai, Alasan Orang Jepang Suka Kasih Barang Gratis
Beberapa bulan kemudian, seorang teman saya dari Korea yang telah tinggal di Jepang selama tiga tahun, memutuskan untuk kembali ke negara asalnya.
Dia menghadapi masalah yang sama: barangnya banyak yang tidak dapat dibawa kembali ke Korea.
Beberapa lainnya sulit dijual karena ukurannya besar atau biaya pengiriman yang mahal.
Setelah mencoba beberapa pilihan, dia merasa kesulitan untuk mengatasinya.
Akhirnya, dia memutuskan untuk membuang barang-barang tersebut.
Namun, ada satu masalah besar terkait jadwal pembuangan sampah yang dia miliki, yaitu pada hari terakhirnya di Jepang, tepat sebelum dia berangkat ke bandara.
Melihat situasinya, dia menelepon saya dan berkata, "Saya tidak yakin apa yang harus dilakukan dengan semua barang ini. Daripada membuangnya, bagaimana kalau kamu mengambilnya?"
Saya sangat senang mendapatkan barang-barang gratis, tetapi juga sedikit bingung bagaimana cara memindahkan semuanya.
Kami akhirnya sepakat untuk memindahkan barang-barang tersebut pada malam hari, agar tidak mengganggu orang lain yang berjalan di sekitar apartemen.
Selama tiga malam berturut-turut, kami membawa barang-barang besar seperti meja, kursi, dan barang-barang lainnya dari apartemennya ke apartemen saya yang berjarak sekitar 2 kilometer.
Perjalanan itu tidak mudah. Kami harus mendaki jalan yang curam dan menyeberang jalan melalui jembatan penyeberangan pejalan kaki.
Meskipun sangat lelah, kami terus memindahkan barang-barang tersebut hingga semuanya selesai setelah tiga malam.
Meskipun kelelahan, saya merasa ini pengalaman yang cukup menyenangkan dan unik. Tentu saja, saya rasa tidak akan melakukan hal yang sama lagi.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa terkadang, hal-hal yang kita anggap tidak berguna dapat menjadi harta yang berharga bagi orang lain.
Di Tokyo yang tertib dan kebersihannya ketat, saya menemukan bahwa berbagi dan menghargai hal-hal kecil adalah cara sederhana untuk mengurangi sampah dan menjaga keseimbangan lingkungan.
Sama seperti mottainai, hidup bukan hanya tentang memiliki lebih banyak, melainkan cara kita menawarkan nilai melalui hal-hal yang tampaknya tidak penting yang dapat membuat perbedaan besar bagi orang lain.
Ulasan di atas disampaikan oleh Obull, WNI yang kerja di Tokyo. Ia penggemar seni dengan kutipan favorit "kreativitas adalah kecerdasan yang bersenang-senang".
Konten disediakan oleh Karaksa Media Partner (November 2024)
View this post on Instagram