Banyak orang Indonesia yang datang ke Jepang untuk bekerja, belajar, atau magang mengalami culture shock saat harus menyesuaikan diri dengan norma sosial yang berbeda.
Hal kecil seperti cara memberikan kartu nama, membuang sampah, hingga berdiri di eskalator bisa memiliki makna sosial yang penting.
Apa yang tampak sepele di Indonesia bisa berdampak besar pada interaksi sehari-hari di Jepang.
Berikut ini beberapa kebiasaan budaya Jepang yang sering membuat orang Indonesia terkejut sekaligus belajar beradaptasi.
Baca juga:
Membungkuk atau ojigi adalah bagian penting dari komunikasi di Jepang.
Gestur ini dipakai untuk menyapa, meminta maaf, atau menunjukkan rasa terima kasih.
Kedalaman dan sudut membungkuk mencerminkan tingkat rasa hormat.
Bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan jabat tangan atau sapaan verbal, membiasakan diri dengan kapan dan bagaimana harus membungkuk tentu butuh waktu.
Di dunia kerja, hierarki punya peran besar.
Usia, jabatan, dan senioritas menentukan cara orang berinteraksi.
Bahasa hormat (keigo) dipakai ketika berbicara dengan atasan atau klien.
Hal itu termasuk dalam pertemuan bisnis serta menyerahkan kartu nama yang harus dilakukan dengan dua tangan dan sedikit membungkuk.
Masyarakat Jepang sangat menghargai ketepatan waktu.
Datang terlambat beberapa menit saja bisa dianggap tidak sopan.
Hal ini berbeda dengan budaya di Indonesia yang cenderung lebih santai soal waktu.
Kereta di Jepang terkenal tepat jadwal, terutama Shinkansen yang rata-rata hanya terlambat 1,6 menit per perjalanan.
Bahkan, keterlambatan satu menit saja bisa memicu permintaan maaf dari perusahaan kereta.
Kebiasaan ini membuat orang Indonesia yang baru datang harus benar-benar belajar mengatur waktu.
Lambat laun, ketepatan waktu bukan sekadar aturan, melainkan menjadi pola pikir yang memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Di ruang publik, orang Jepang jarang berbicara keras atau mengekspresikan emosi berlebihan.
Percakapan biasanya dilakukan dengan suara rendah, dan diam bukanlah sesuatu yang dianggap canggung.
Sebaliknya, diam justru bisa berarti bentuk penghormatan atau cara menjaga keharmonisan.
Selain itu, komunikasi tidak langsung sering digunakan.
Alih-alih mengatakan “tidak” secara tegas, mereka mungkin berkata “sulit dilakukan” atau “akan dipertimbangkan,” yang sebenarnya bermakna penolakan.
Bagi orang Indonesia yang terbiasa berbicara lebih ekspresif dan lugas, memahami isyarat halus ini membutuhkan kesabaran.
Butuh waktu untuk bisa membaca makna di balik kata-kata yang terdengar sopan namun penuh kode.
Salah satu kebiasaan yang sering membuat kaget adalah aturan membuang sampah di Jepang.
Sampah harus dipisahkan dengan ketat, mulai dari burnable, non-burnable, plastik, botol PET, kaleng, hingga kertas.
Setiap kategori memiliki jadwal pengumpulan tersendiri.
Jadwal ini juga bisa berbeda di tiap kota atau bahkan tiap lingkungan.
Bagi pendatang baru, sistem ini cukup membingungkan.
Tak sedikit orang Indonesia yang awalnya salah memilah sampah atau lupa jadwal, hingga mendapat teguran dari tetangga.
Menurut Kementerian Lingkungan Jepang, sekitar 19,5 persen sampah rumah tangga didaur ulang, mencerminkan komitmen tinggi terhadap keberlanjutan dan keteraturan.
Kata ganbarimasu yang berarti “saya akan berusaha sebaik mungkin” menjadi simbol etos kerja di Jepang.
Di banyak perusahaan, karyawan dituntut untuk menunjukkan dedikasi, bekerja keras, dan bahkan pulang larut bila diperlukan.
Menunjukkan rasa lelah atau frustrasi sering kali dianggap tidak pantas.
Bagi orang Indonesia, budaya kerja ini bisa terasa menekan di awal.
Meski demikian, banyak yang mengagumi disiplin dan komitmen pekerja Jepang.
Seiring waktu, sebagian orang Indonesia beradaptasi dengan pola kerja ini, meski tetap menjaga keseimbangan agar tidak kehilangan identitas pribadi.
Budaya kerja keras ini pada akhirnya mengajarkan arti ketekunan dan tanggung jawab yang lebih mendalam.
Meskipun ada pelatihan singkat sebelum berangkat, sebagian besar pembelajaran budaya terjadi lewat pengalaman langsung.
Komunitas Indonesia di Jepang, baik melalui perkumpulan mahasiswa, forum daring, maupun kegiatan keagamaan, sering menjadi tempat saling berbagi tips dan dukungan.
Banyak orang Indonesia yang akhirnya bisa menyeimbangkan kehidupan di Jepang dengan tetap menjaga jati diri mereka.
Di kantor, mereka mengikuti aturan dan kebiasaan Jepang.
Namun, mereka tetap berkumpul bersama teman-teman Indonesia pada akhir pekan untuk makan, berbicara dalam bahasa ibu, dan merayakan hari-hari besar.
Dengan cara ini, mereka bisa beradaptasi dengan baik tanpa kehilangan akar budaya sendiri.
Adaptasi ini mengubah culture shock menjadi pengalaman berharga untuk tumbuh secara pribadi maupun profesional.
Hidup di Jepang tidak hanya soal kemampuan bahasa atau keterampilan kerja, tetapi juga soal memahami budaya.
Banyak orang Indonesia berhasil menjadikan tantangan awal hidup di Jepang sebagai peluang berkembang dengan belajar adat istiadat, menghormati norma lokal, dan menemukan dukungan dari komunitas.
Culture shock yang semula terasa berat akhirnya bisa menjadi sumber pembelajaran dan kedekatan antarbudaya.
Sumber:
Penulis: Karaksa Media Partner (Agustus 2025)
View this post on Instagram