Jepang menjadi salah satu negara tujuan yang menjanjikan bagi perempuan Indonesia yang ingin mendapatkan peluang ekonomi yang lebih baik di luar negeri.
Salah satu sektor yang paling terbuka adalah bidang perawatan lanjut usia atau caregiving.
Tingginya kebutuhan tenaga kerja di Jepang dipicu oleh populasi lansia yang terus meningkat.
Di sektor ini, Indonesia menjadi salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar.
Meski terbuka lebar, jalan untuk bekerja sebagai caregiver di Jepang tidak sesederhana mengajukan lamaran dan langsung berangkat.
Ada sejumlah syarat kerja di Jepang untuk wanita, terutama dalam kategori pekerjaan blue-collar seperti perawat lansia, yang mencakup usia, jenis visa, kemampuan bahasa, hingga kesiapan mental.
Artikel ini mengulas secara mendalam bagaimana para perempuan Indonesia mempersiapkan diri menghadapi realitas kerja di sektor caregiving Jepang.
Baca juga:
Jepang saat ini menghadapi krisis demografi. Dengan tingkat kelahiran yang rendah dan populasi lansia yang terus bertambah.
Negara ini membutuhkan jutaan tenaga kerja untuk mendampingi masyarakat lanjut usia.
Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang mencatat bahwa pada tahun 2025, Jepang diperkirakan membutuhkan sekitar 2,45 juta caregiver.
Namun, suplai tenaga kerja lokal diperkirakan kekurangan hampir 340.000 orang.
Kondisi ini mendorong Jepang membuka pintu bagi caregiver asing melalui skema seperti Economic Partnership Agreement (EPA) dan Specified Skilled Worker (SSW).
Indonesia termasuk mitra utama Jepang dalam kerja sama ini, dengan ribuan caregiver dikirim setiap tahun.
EPA merupakan jalur kerja resmi yang lebih dulu dibuka Jepang bagi tenaga kerja Indonesia di bidang caregiving.
Melalui program ini, peserta mendapatkan pelatihan bahasa Jepang dan keterampilan caregiving terlebih dahulu di Indonesia, sebelum diberangkatkan ke fasilitas perawatan di Jepang.
Syarat utama EPA meliputi:
Minimal lulusan D3 Keperawatan atau bidang serupa
Lulus Japanese Language Proficiency Test (JLPT) N5 atau N4 sebelum keberangkatan
Wajib lulus ujian nasional caregiving di Jepang dalam 3–4 tahun masa kerja untuk dapat menetap
Usia pelamar umumnya antara 21–35 tahun
Dalam beberapa tahun terakhir, jalur SSW menjadi pilihan yang lebih fleksibel.
Tidak seperti EPA, jalur ini tidak mensyaratkan ijazah keperawatan.
Namun, tetap mewajibkan pelamar untuk lulus ujian keterampilan caregiving (Kaigo) dan tes kemampuan bahasa Jepang.
Syarat utama SSW:
Lulus ujian keterampilan caregiving (Kaigo)
Memiliki sertifikasi JLPT N4 atau JFT-Basic
Lulus pelatihan dari training center resmi di Indonesia
Usia pelamar umumnya lebih fleksibel, tetapi berkisar antara 19–35 tahun
Kedua jalur ini menjadi rute legal utama bagi perempuan Indonesia yang ingin bekerja sebagai caregiver di Jepang.
Pekerjaan caregiving membutuhkan stamina fisik untuk memindahkan pasien, berjaga malam, dan merespons keadaan darurat. Pelamar muda lebih diutamakan.
Untuk jalur SSW, ijazah SMA sudah cukup. Sementara EPA menuntut jenjang pendidikan lebih tinggi.
Banyak perempuan Indonesia mulai mempersiapkan diri sejak lulus SMA.
Calon tenaga kerja biasanya mengikuti program dari lembaga pelatihan atau agen penyalur yang diakui oleh BP2MI.
Mereka mendapatkan pelatihan keterampilan caregiving, bahasa Jepang, hingga pengenalan budaya kerja Jepang.
Meski proses ini melibatkan biaya seperti visa, pelatihan, dan tes bahasa; semua itu merupakan langkah terstruktur menuju karier profesional di Jepang.
Bahasa Jepang bukan sekadar soal tata bahasa atau kosakata.
Di lapangan, caregiver perlu memahami dialek lokal dan berinteraksi dengan lansia yang mungkin mengalami gangguan kognitif.
Ini membuat proses belajar bahasa menjadi latihan empati dan kesabaran.
Seiring waktu, banyak caregiver Indonesia yang berhasil beradaptasi dan lancar berbicara tanpa rasa canggung.
Bekerja sebagai caregiver di Jepang tidak hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga kesiapan mental.
Sistem kerja yang terstruktur, komunikasi hierarkis, dan budaya kerja disiplin bisa menjadi tantangan.
Namun, banyak pekerja Indonesia yang akhirnya menghargai nilai profesionalisme yang tinggi tersebut.
Dukungan komunitas seperti sesama orang Indonesia, kelompok keagamaan, dan multilingual center milik pemerintah daerah membantu para caregiver beradaptasi dan bertahan di lingkungan baru.
Di tempat kerja, caregiver dihadapkan pada standar kedisiplinan tinggi. Tepat waktu, patuh terhadap hierarki, dan mencatat detail kondisi pasien secara teliti adalah hal wajib.
Kesalahan kecil seperti keliru mencatat suhu tubuh pasien atau tidak menyampaikan informasi secara tepat kepada atasan bisa berujung pada teguran resmi.
Meski demikian, fasilitas di Jepang dikenal memiliki sistem pelatihan dan pendampingan kerja yang profesional.
Sebagian besar caregiver tinggal di asrama atau hunian bersama. Kondisi ini memperkuat kebersamaan antarpekerja, meski ada keterbatasan privasi.
Selain itu, beradaptasi dengan sistem perbankan, asuransi kesehatan, hingga rutinitas sehari-hari bisa terasa rumit.
Terutama jika ditempatkan di daerah pedesaan yang minim fasilitas dan penduduk yang tidak bisa berbahasa Inggris atau Indonesia.
Meski banyak tantangan, banyak caregiver Indonesia melihat pekerjaan ini sebagai batu loncatan menuju masa depan yang lebih baik.
Peserta EPA yang lulus ujian nasional caregiving dapat mengajukan visa jangka panjang, bahkan reunifikasi keluarga.
Di jalur SSW, visa bisa diperpanjang hingga lima tahun. Jika ingin melanjutkan pendidikan, peluang untuk pindah ke posisi lebih spesifik juga terbuka lebar.
Syarat kerja di Jepang untuk wanita, khususnya di sektor caregiving, bukan hanya soal ijazah atau kelulusan ujian.
Di balik itu ada tuntutan kekuatan fisik, ketahanan emosional, serta kemampuan beradaptasi dengan budaya kerja Jepang yang khas.
Bagi perempuan Indonesia, jalur ini menawarkan peluang besar, namun juga membutuhkan persiapan yang matang dan dukungan berkelanjutan.
Memahami pola dan tantangan yang ada akan membantu menciptakan gambaran utuh tentang apa yang sebenarnya diperlukan untuk membangun kehidupan dan karier di Jepang.
Bukan sekadar sebagai pekerja, tetapi sebagai pribadi yang berkembang melalui perjalanan hidup lintas budaya.
Sumber:
Artikel ditulis oleh Karaksa Media Partner (Juli 2025)
View this post on Instagram