Ketertarikan pada budaya Jepang yang tumbuh sejak kecil membawa Margaretta Dewi (36) melangkah jauh dari Padang, kampung halamannya.
Perjalanan Dewi membawanya bekerja di salah satu klinik kecantikan ternama di Jepang selama lebih dari 13 tahun, meski memiliki riwayat operasi jantung yang sempat membuatnya ragu untuk bertahan.
Sejak kecil, Dewi sudah memiliki ketertarikan terhadap Jepang, meski saat itu belum ada akses internet yang mudah seperti sekarang.
Selepas SMA, ia melanjutkan kuliah di Universitas Bung Hatta (UBH), Padang, mengambil jurusan Sastra Jepang.
Di kampus inilah perjalanannya mulai mengarah ke Negeri Sakura.
Ia bertemu dengan seorang guru, sensei ia menyebutnya, yang memberikan informasi tentang peluang belajar bahasa di Jepang. Rasa ingin tahunya semakin besar.
Setelah menyelesaikan empat semester, Dewi membuat keputusan besar, meninggalkan bangku kuliah dan merantau ke Jepang.
Pada Oktober 2008, Dewi tiba di Tokyo menggunakan visa pelajar. Ia mendaftarkan diri di sekolah bahasa dan mengikuti program selama satu setengah tahun.
Setelah masa studi selesai, Dewi memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia.
Ia melanjutkan pendidikan dan mencoba membangun masa depan di Jepang.
Pada April 2010, Dewi melanjutkan pendidikannya ke sekolah kejuruan (senmon gakkou).
Ia mempelajari sound engineering yang kerap disebut MA (mixing and audio), bidang yang berkaitan dengan suara dan animasi, selama dua tahun di sekolah kejuruan itu.
Pilihan itu tidak lepas dari ketertarikannya pada dunia musik dan kreatif.
"Jadi MA itu kayak misalnya kalau kita bikin animasi, itu kan ada yang masukin suara-suaranya, efek-efeknya, yang ambil suara seiyu-nya. Saya ambil bidangnya itu," jelas Dewi kepada Ohayo Jepang melalui sambungan telepon, (19/6/2025).
Baca juga:
Sistem pencarian kerja di Jepang untuk para lulusan baru berbeda dari Indonesia.
Dewi mengungkapkan bahwa di Jepang, mahasiswa mulai mencari pekerjaan satu tahun sebelum lulus.
Proses ini dikenal dengan sebutan Shushoku Katsudo yaitu kegiatan pencarian kerja.
"Jadi perusahaan-perusahaan di Jepang itu memang cari fresh graduate. Mereka masukin lowongan ke sekolah-sekolah senmon gakkou atau ke universitas, itu perusahaan biasanya masukin lowongan ke situ," ucap perempuan yang tinggal di Tokyo ini.
Menurut Dewi, tersedia satu ruangan khusus yang dilengkapi dengan banyak komputer di sekolah kejuruan maupun universitas.
Mahasiswa dapat memanfaatkan fasilitas ini untuk mencari lowongan pekerjaan sesuai dengan bidang yang mereka inginkan.
Selain itu, sekolah juga memberikan pelatihan dan arahan mengenai cara wawancara.
Jurusan sound engineering yang dipilihnya erat kaitannya dengan pekerjaan di studio animasi Jepang.
Namun, perempuan yang kini lebih dikenal sebagai content creator ini memutuskan untuk tidak melamar pekerjaan di industri tersebut.
Setelah berbicara lebih dalam dengan para sensei, Dewi menyadari bahwa industri ini memiliki jam kerja yang sangat panjang dan penuh tekanan.
Beberapa studio bahkan dikenal dengan budaya lembur berhari-hari.
Hal ini menjadi dilema besar bagi Dewi karena ia memiliki riwayat penyakit jantung dan pernah menjalani operasi sebelumnya.
"Akhirnya kakak mikir, aduh gimana ya, dan waktu itu sebetulnya kakak udah mau nyerah kerja di Jepang. Yaudahlah mungkin pulang aja kali ya. Kumpulin duit, terus balik ke Indonesia gitu kan, karena perusahaan itu juga gak mau terima orang yang punya sakit gitu kan," terang Dewi.
Namun, satu hari ia melihat lowongan kerja di pusat karier sekolah.
Salah satu perusahaan yang membuka lowongan adalah salah satu jaringan klinik kecantikan ternama dan besar di Jepang.
“Awalnya saya tidak terlalu mikir, saya hanya ingin coba. Saya suka dunia kesehatan sejak lama, mungkin karena pengalaman pribadi juga,” katanya.
Dewi melamar dan mengikuti proses seleksi. Ia terkejut saat akhirnya diterima bekerja di sana pada April 2012.
Saat itu, ia masih merasa kemampuan bahasa Jepangnya belum maksimal, apalagi dalam istilah medis.
“Saya sendiri bingung kenapa bisa diterima,” ujarnya.
Belakangan, Dewi mengetahui bahwa perekrutnya adalah wakil direktur klinik yang saat itu memiliki visi untuk memperluas jangkauan perusahaan ke luar negeri, termasuk Indonesia.
Sebagai satu-satunya pelamar asal Indonesia, Dewi dianggap berpotensi menjadi jembatan ekspansi walau belum terealisasi sampai sekarang.
Setelah diterima bekerja, Dewi harus mengubah visanya dari visa pelajar menjadi visa kerja.
Ia pun mengajukan aplikasi visa engineer, kini dikenal sebagai visa gijinkoku yang juga mencakup profesi engineer.
Saat itu belum ada layanan pendukung berbahasa asing seperti sekarang, Dewi harus mencari tahu sendiri cara mengajukan visa kerja.
Ia membuka situs imigrasi Jepang, membaca dokumen dalam bahasa Jepang dan menggunakan kamus digital.
Dewi juga harus menyiapkan kontrak kerja dan dokumen dari perusahaan yang membuktikan bahwa tempat ia melamar legal dan membayar pajak.
Satu bulan kemudian, Dewi berhasil mendapatkan visa engineer.
"Sebentar sih saya, kayaknya satu bulanan dapet deh. Soalnya kan urusnya dari Jepang. Kalau urus dari Indonesia, kita kan harus minta Certificate of Eligibility (COE) dulu kan, masuk ke negara Jepang dulu, terus dari situ baru ke imigrasi lagi buat urus pertukaran visanya," ucap Dewi mengenai proses mengurus visa yang cepat.
Dewi bekerja sebagai video creator di kantor pusat klinik kecantikan di Tokyo, khususnya untuk operasi plastik.
Tugasnya tidak sekadar membuat video promosi.
Ia juga merancang konsep, mengambil gambar, mengedit, membuat thumbnail, hingga mengunggah ke YouTube dan situs resmi perusahaan.
Dewi belajar desain grafis, strategi konten, hingga membuat catch copy, kalimat pendek yang menarik perhatian penonton, dalam Bahasa Jepang.
Sebagai satu-satunya orang asing di divisi kreatif, Dewi harus beradaptasi dengan Bahasa Jepang terutama istilah medis.
Untungnya, perusahaan tempatnya bekerja mengadakan pelatihan intens bagi karyawan baru.
Pelatihan tersebut dimulai dari nol, Dewi diajarkan berbagai hal terkait pekerjaan.
Setiap hari, Dewi selalu membawa pulang dokumen yang menjelaskan prosedur operasi, seperti double eyelid termasuk cara operasi dan risikonya.
Ia menulis ulang materi tersebut dalam Bahasa Jepang.
"Kalau cuma kita baca itu enggak bakal masuk ke kepala, tapi kalau ditulis itu lama-lama masuk ke kepala. Kayak gitu cara ingetnya," ujar Dewi membagikan tips caranya belajar.
Ia mengaku butuh waktu dua tahun untuk benar-benar terbiasa dengan segala aspek Bahasa Jepang dalam dunia kerja.
Dewi mengaku sempat skeptis terhadap dunia operasi plastik.
Namun setelah melihat langsung proses dan alasan pasien melakukan operasi, pandangannya berubah.
“Ada pasien yang di-bully karena bentuk gigi, ada yang enggak percaya diri karena kelopak matanya turun. Setelah operasi, wajah mereka berubah, tapi yang lebih terasa itu ekspresinya. Mereka jadi lebih bahagia,” ujarnya.
Pengalaman itu membuat Dewi bertahan. Ia merasa pekerjaannya memberi dampak bagi orang lain.
Setelah 13 tahun bekerja, Dewi memutuskan untuk berhenti.
Ia ingin membuka jalan baru, membantu orang Indonesia yang ingin melakukan perawatan di Jepang. Ia juga bercita-cita menjembatani kolaborasi antara dokter Indonesia dan Jepang.
“Selama ini belum ada orang Indonesia yang menjembatani. Saya ingin mulai dari situ,” pungkas content creator yang kerap unggah informasi soal Jepang via Instagram @dewis_nikki.
Saat ini, Dewi tengah menikmati waktunya di Padang sebelum kembali ke Jepang pada Agustus 2025.
View this post on Instagram