Dewi belajar desain grafis, strategi konten, hingga membuat catch copy, kalimat pendek yang menarik perhatian penonton, dalam Bahasa Jepang.
Sebagai satu-satunya orang asing di divisi kreatif, Dewi harus beradaptasi dengan Bahasa Jepang terutama istilah medis.
Untungnya, perusahaan tempatnya bekerja mengadakan pelatihan intens bagi karyawan baru.
Pelatihan tersebut dimulai dari nol, Dewi diajarkan berbagai hal terkait pekerjaan.
Setiap hari, Dewi selalu membawa pulang dokumen yang menjelaskan prosedur operasi, seperti double eyelid termasuk cara operasi dan risikonya.
Ia menulis ulang materi tersebut dalam Bahasa Jepang.
"Kalau cuma kita baca itu enggak bakal masuk ke kepala, tapi kalau ditulis itu lama-lama masuk ke kepala. Kayak gitu cara ingetnya," ujar Dewi membagikan tips caranya belajar.
Ia mengaku butuh waktu dua tahun untuk benar-benar terbiasa dengan segala aspek Bahasa Jepang dalam dunia kerja.
Dewi mengaku sempat skeptis terhadap dunia operasi plastik.
Namun setelah melihat langsung proses dan alasan pasien melakukan operasi, pandangannya berubah.
“Ada pasien yang di-bully karena bentuk gigi, ada yang enggak percaya diri karena kelopak matanya turun. Setelah operasi, wajah mereka berubah, tapi yang lebih terasa itu ekspresinya. Mereka jadi lebih bahagia,” ujarnya.
Pengalaman itu membuat Dewi bertahan. Ia merasa pekerjaannya memberi dampak bagi orang lain.
Setelah 13 tahun bekerja, Dewi memutuskan untuk berhenti.
Ia ingin membuka jalan baru, membantu orang Indonesia yang ingin melakukan perawatan di Jepang. Ia juga bercita-cita menjembatani kolaborasi antara dokter Indonesia dan Jepang.
“Selama ini belum ada orang Indonesia yang menjembatani. Saya ingin mulai dari situ,” pungkas content creator yang kerap unggah informasi soal Jepang via Instagram @dewis_nikki.
Saat ini, Dewi tengah menikmati waktunya di Padang sebelum kembali ke Jepang pada Agustus 2025.
View this post on Instagram