"Jadi perusahaan-perusahaan di Jepang itu memang cari fresh graduate. Mereka masukin lowongan ke sekolah-sekolah senmon gakkou atau ke universitas, itu perusahaan biasanya masukin lowongan ke situ," ucap perempuan yang tinggal di Tokyo ini.
Menurut Dewi, tersedia satu ruangan khusus yang dilengkapi dengan banyak komputer di sekolah kejuruan maupun universitas.
Mahasiswa dapat memanfaatkan fasilitas ini untuk mencari lowongan pekerjaan sesuai dengan bidang yang mereka inginkan.
Selain itu, sekolah juga memberikan pelatihan dan arahan mengenai cara wawancara.
Jurusan sound engineering yang dipilihnya erat kaitannya dengan pekerjaan di studio animasi Jepang.
Namun, perempuan yang kini lebih dikenal sebagai content creator ini memutuskan untuk tidak melamar pekerjaan di industri tersebut.
Setelah berbicara lebih dalam dengan para sensei, Dewi menyadari bahwa industri ini memiliki jam kerja yang sangat panjang dan penuh tekanan.
Beberapa studio bahkan dikenal dengan budaya lembur berhari-hari.
Hal ini menjadi dilema besar bagi Dewi karena ia memiliki riwayat penyakit jantung dan pernah menjalani operasi sebelumnya.
"Akhirnya kakak mikir, aduh gimana ya, dan waktu itu sebetulnya kakak udah mau nyerah kerja di Jepang. Yaudahlah mungkin pulang aja kali ya. Kumpulin duit, terus balik ke Indonesia gitu kan, karena perusahaan itu juga gak mau terima orang yang punya sakit gitu kan," terang Dewi.