Belajar bahasa baru kini semakin mudah.
Dengan munculnya aplikasi pembelajaran bahasa dan banyaknya sumber daya daring, siapa pun dapat mempelajari bahasa asing dengan lebih praktis.
Layanan terjemahan juga mempermudah akses kosakata dan frasa secara instan.
Namun, sebagai pembelajar bahasa Jepang, saya menyadari bahwa ketergantungan pada layanan terjemahan memiliki tantangan tersendiri.
Tantangan ini bukanlah hal buruk, melainkan bagian dari proses belajar. Izinkan saya berbagi pengalaman.
Mempelajari bahasa Jepang adalah perjalanan bertahap.
Meski telah tinggal di Jepang selama satu tahun, saya masih kesulitan dengan banyak kata yang belum saya kuasai.
Saat mengalami hal ini, saya melakukan apa yang umum dilakukan banyak orang, yaitu menggunakan layanan terjemahan untuk mengekspresikan apa yang ingin saya katakan.
Ini bagian alami dari pembelajaran bahasa, dan saya yakin tidak ada yang salah dalam menggunakannya.
Namun, meski terus berkembang, layanan terjemahan belum sempurna.
Terkadang, hasil terjemahan terdengar kurang alami atau bahkan memiliki konotasi negatif bagi penutur asli.
Saya pernah mengalami hal ini langsung.
Suatu ketika, saya menggunakan layanan terjemahan untuk mencari padanan kata dalam bahasa Jepang, tetapi kemudian menyadari bahwa kata yang saya gunakan kurang tepat.
Sebagai orang Indonesia yang tinggal di Jepang, saya sering ditanya, “Bagaimana pandangan masyarakat Indonesia terhadap Jepang?”
Saya biasanya menjawab dengan menyebutkan aspek positif budaya Jepang, seperti kuliner, anime, alam, dan tradisi.
Namun, orang-orang di sekitar saya menyadari bahwa saya hanya menyebutkan sisi positif.
Mereka ingin tahu apakah masyarakat Indonesia juga memiliki pandangan negatif tentang Jepang.
Saya menjelaskan bahwa ada beberapa “stigma” terkait Jepang, seperti budaya kerja lembur atau lingkungan kerja yang toksik.
Baca juga:
Menurut Kamus Merriam-Webster, “stigma” berarti “serangkaian kepercayaan negatif dan tidak adil yang dimiliki masyarakat atau kelompok tertentu terhadap sesuatu.”
Namun, bagaimana cara mengungkapkan “stigma” dalam bahasa Jepang? Saya tidak tahu, jadi saya mengandalkan layanan terjemahan.
Layanan terjemahan menyarankan “汚名” (omei), yang tampak masuk akal.
Kanji “汚” berarti “kotor”, dan “名” berarti “nama”, sehingga saya mengira kata ini berarti reputasi buruk.
Dengan percaya diri, saya menggunakannya dalam percakapan.
Awalnya, tidak ada yang mengomentari. Mereka mengangguk dan tampaknya memahami maksud saya.
Namun, dalam diskusi lain, seseorang mengatakan bahwa “汚名” bukan kata yang baik untuk digunakan dalam bahasa Jepang.
Mereka tidak bisa menjelaskan sepenuhnya, tetapi kata itu memiliki nuansa sangat negatif.
Kesadaran ini mengejutkan saya yang terlalu percaya pada layanan terjemahan tanpa mengecek ulang maknanya.
Saya jadi penasaran, lalu mencari lebih lanjut dan menemukan bahwa “汚名” berarti “aib” atau “kehinaan” dalam bahasa Jepang.
Kata ini jauh lebih berat dari yang saya maksudkan, terutama dalam konteks budaya Jepang.
Secara alami, saya ingin tahu kata yang lebih tepat.
Ketika bertanya kepada teman Jepang, mereka menyarankan “悪いイメージ” (warui imeeji), yang berarti “citra buruk”.
Mereka sepakat bahwa frasa ini lebih tepat dan tidak sekeras “汚名”.
Dari pengalaman ini, saya menyadari bahwa saya juga tidak sepenuhnya bebas dari kesalahan.
Layanan terjemahan memang menyarankan kata “stigma”, tetapi jika saya menerjemahkan balik, “汚名” dalam bahasa Inggris juga berarti “dishonor” (aib) dan “stain” (noda).
Seharusnya ini menjadi tanda bahaya bagi saya.
Belakangan, seorang kolega senior menyarankan saya menggunakan “偏見” (henken) yang berarti “prasangka”.
Meskipun saya memahami alasannya, saya merasa “prasangka” memiliki makna lebih kuat dan sering kali mengarah pada kelompok tertentu, seperti ras atau agama.
Akhirnya, saya memilih tetap menggunakan “悪いイメージ” (citra buruk) karena dalam kasus ini, kesederhanaan adalah solusi terbaik.
Apa yang saya pelajari dari pengalaman ini? Kesalahan adalah bagian alami dari pembelajaran.
Saya memang kecewa saat menyadari bahwa saya menggunakan kata dengan konotasi negatif yang tidak saya maksudkan, tetapi saya juga menemukan alternatif yang lebih baik.
Pengalaman ini memberi saya pelajaran penting. Selalu periksa kembali hasil terjemahan dari berbagai sumber, terutama saat menggunakan kata-kata yang belum familiar.
Belajar bahasa merupakan perjalanan dan setiap kesalahan menjadi kesempatan untuk berkembang.
Ulasan di atas disampaikan oleh Karsten Dwinata, WNI yang kerja di Tokyo. Ia suka melakukan aktivitas seru seperti bermain gim dan berdiskusi.
Konten disediakan oleh Karaksa Media Partner (Maret 2025)
View this post on Instagram