Ramadhan bagi Muslim di Jepang memiliki keunikan tersendiri salah satunya di tempat kerja.
Aya, seorang pekerja Muslim yang sudah tinggal di Jepang selama enam tahun, berbagi pengalamannya menjalani puasa di Negeri Sakura.
Ketika pertama kali menjalani Ramadhan di Jepang antara 2017 dan 2018, Aya masih berstatus pelajar di sekolah bahasa.
Waktu sahur sekitar pukul 02.30 pagi membuatnya harus menyesuaikan pola tidur dan kerja.
“Subuhnya awal banget jadi mau tidur itu nanggung karena aku enggak bisa tidur singkat. Kan kalau di Indonesia, orang-orang habis Subuh bisa langsung melakukan kegiatan, kayak jam 06.00 atau 07.00 pagi udah mulai berangkat kerja atau sekolah. Kalau di Jepang, sekitar jam 09.00 pagi baru mulai kegiatan," jelas Aya kepada Ohayo Jepang pada Minggu (2/2/2025).
Selain sekolah, Aya juga bekerja paruh waktu sebagai loper koran di Jepang.
Kadang-kadang ia harus mengantar koran ke pelanggan pagi hari sebelum sekolah bahasa dimulai.
Ketika puasa tiba, setelah Subuh Aya lanjut mengantar koran barulah sekolah bahasa.
Selain menjadi loper koran, Aya juga bekerja paruh waktu di restoran setelah sekolah.
"Buka puasa itu sekitar jam 18.00, itu udah pulang kerja jadi makan di rumah," kata Aya.
Saat itu, ia belum bergabung dengan komunitas Muslim dan masih beradaptasi dengan lingkungan baru.
Meskipun demikian, ia tetap bisa menjalani puasa sebulan penuh meskipun terasa berbeda dengan di Indonesia, terutama sulitnya mengikuti salat tarawih akibat jadwal kerja dan sekolah yang padat.
Sementara itu, dari awal dia menjalani puasa di Jepang, Aya selalu menyiapkan makanan untuk buka dan sahur sebelum Ramadhan tiba.
Jadi, ketika sudah tiba bulan puasa, ia tidak perlu lagi bingung mencari menu sahur dan buka.
Ramadhan kali ini pun Aya sudah menyiapkan makanan siap masak.
Ia membeli makanan Indonesia dalam bentuk frozen dari penjual di Jepang, lalu menyimpannya untuk stok sahur dan berbuka.
“Biar enggak ribet masak pas puasa karena aku ada roommate jadi enggak enak juga kalau masak lama-lama. Sahur juga pilih yang simpel kayak oatmeal atau yoghurt yang udah disiapin malam sebelumnya,” jelasnya.
Baca juga:
Setelah resmi bekerja penuh waktu di Jepang, Aya merasakan pengalaman baru dalam menjalani Ramadhan.
Tidak ada kebijakan khusus bagi Muslim yang berpuasa di kantornya.
Namun, sejak bekerja di sini, perusahaan memberi Aya fleksibilitas untuk tetap bisa salat tanpa mengganggu pekerjaan.
“Aku punya waktu istirahat selama satu jam pas jam 12 siang, biasanya aku manfaatkan untuk salat Zuhur. Selain itu, ada istirahat singkat 10 menit sekitar jam tiga sore. Aku diberi istirahat tambahan 5 menit khusus untuk salat Ashar,” papar Aya.
Ruang meeting yang bersih menjadi tempat salat bagi Aya.
Aya biasanya makan siang bersama rekan kerjanya.
Namun, selama puasa ia tak melakukannya sampai lambat laun mereka menyadari kebiasaannya tidak makan siang selama sebulan penuh.
“Awalnya mereka tanya, ‘Kok enggak makan siang?’, lama-lama paham kalau aku lagi puasa,” katanya.
Pertanyaan yang paling sering ia dapatkan adalah soal larangan minum selama puasa. Setiap tahun selalu ada pertanyaan ini kepada Aya.
“Ini sih ada satu pertanyaan yang cukup berat menurutku. Kenapa dihukum sama Tuhan?"
Aya menjelaskan bahwa puasa bukan hukuman, melainkan bagian dari ajaran Islam yang sudah biasa dilakukan sejak kecil.
Demi menjawab rasa penasaran rekan kerja, ia juga mengutip penelitian kesehatan dari ilmuwan Jepang yang menunjukkan manfaat puasa bagi tubuh.
Bos Aya yang sudah sering bepergian ke luar negeri cukup memahami puasa Ramadhan.
Bahkan, setelah tahu tentang puasa, bosnya selalu mengucapkan selamat Ramadhan setiap tahun.
“Kadang ibunya bos juga kasih makanan buat aku, rasanya dihargai banget,” ujar Aya.
Tinggal di daerah Namegata, Ibaraki, Aya sulit menemukan masjid terdekat.
Secara geografis, ada masjid di daerah Tsukuba dan Hitachi.
Namun, Aya tidak memiliki kendaraan pribadi, ia lebih memilih ke Tokyo yang memiliki lebih banyak masjid dan komunitas Muslim.
Tahun ketiga di Jepang, Aya mulai bergabung dengan komunitas Muslim Indonesia.
Dari sana, ia bisa mengikuti buka bersama, kajian Ramadhan, dan salat tarawih di masjid seperti Masjid Indonesia Tokyo dan Tokyo Camii.
“Enggak ada pasar Ramadhan atau berburu takjil, tapi kalau di masjid biasanya komunitas yang giliran menyediakan takjil,” kata Aya.
“Aku paling kangenin itu biji salak. Sejauh ini, di sini enggak ada, jadi kalau mau makan ya harus bikin sendiri. Tapi aku enggak mau ribet, jadi ya enggak bikin,” ujarnya sambil tertawa.
Salah satu pengalaman paling berkesan bagi Aya ketika Ramadhan adalah ia melihat seseorang mengucapkan syahadat di Tokyo Camii.
“Rasanya haru banget, melihat ada orang yang memutuskan masuk Islam pada bulan puasa. Meskipun enggak kenal, tapi ada rasa kebersamaan di situ,” ceritanya.
Aya juga merasa aman dan nyaman saat berada di Tokyo Camii karena semua orang di sana Muslim.
Ia menceritakan pengalamannya keluar dari masjid masih mengenakan mukena tanpa rasa canggung karena lingkungan sekitar penuh dengan Muslim.
“Biasanya kalau pakai mukena di tempat umum, orang Jepang suka melirik. Tapi di Tokyo Camii, aku merasa seperti di rumah sendiri,” ujarnya.
Salat tarawih di Tokyo Camii juga menjadi pengalaman unik baginya.
“Tarawih di sana 20 rakaat dan santai, enggak terburu-buru,” katanya.
Selain itu, salat tarawih dimulai pukul 20.00 karena menunggu orang-orang pulang kerja atau berkegiatan. Sementara, Isya' di sini sekitar pukul 19.00.
Bagi yang baru pertama kali menjalani Ramadhan di Jepang, Aya menyarankan beberapa hal:
Sebelum ke Jepang, pastikan cek dulu puasa jatuh pada bulan apa biar punya persiapan yang cukup.
"Misalnya aja bulan A sampai Jepang eh ternyata bulan depannya udah puasa. Itu bisa bikin kaget. Jadi siapkan dulu biar tahu harus melakukan apa, cara cari makanan, dan salat di mana misalnya," papar marketing di perusahaan manufaktur ini.
Perbedaan waktu Subuh dan Magrib bisa sangat jauh, terutama di musim panas. Mengatur pola tidur dan jadwal makan sangat penting agar tetap bertenaga.
Bergabung dengan komunitas bisa membantu dalam berbuka bersama, kajian, dan salat tarawih.
Selain itu, memiliki teman sesama Muslim bisa mengurangi rasa kesepian saat Ramadhan.
Masjid di Jepang beragam, ada yang dikelola oleh komunitas dari berbagai negara seperti Turki, Pakistan, dan Bangladesh.
Suasana ibadah dan makanan berbuka bisa berbeda dari yang biasa ditemukan di Indonesia.
"Harus open yaa misalnya makanannya enggak sesuai sama selera, jangan judge. Dimakan aja. Terus, cara ibadahnya ada yang beda ya jangan judgemental juga," terang Aya.
View this post on Instagram