Suatu hari, saat membawa bekal makan siang ke kantor, saya melihat sesuatu yang menarik. Bekal makan siang seorang rekan kerja dibungkus dengan kain bermotif indah.
Kain itu bukan sembarang kain. Motifnya terlihat elegan dan artistik, memberi kesan khusus pada bekal makan siang tersebut.
Saya penasaran lantas menyadari bahwa kain tersebut bukan kain biasa, melainkan furoshiki yaitu kain tradisional Jepang.
Furoshiki sering muncul dalam anime dan drama Jepang. Ternyata, benda ini lebih dari sekadar kain.
Kain ini menjadi bagian dari budaya Jepang yang sudah lama membuat saya tertarik. Saya memutuskan untuk mempelajarinya lebih lanjut.
Furoshiki adalah kain persegi yang sudah lama menjadi bagian penting dari budaya Jepang.
Kain ini digunakan untuk membungkus dan membawa berbagai barang, mulai dari makanan hingga hadiah, pakaian, dan benda-benda besar.
Furoshiki umumnya terbuat dari katun, sutra, atau bahan lain. Ukurannya bervariasi, disesuaikan dengan kebutuhan penggunaannya.
Kain ini sangat serbaguna misalnya untuk membungkus bento, membawa buku, atau bahkan sebagai syal atau tas dekoratif.
Kepraktisan dan keindahannya menjadikan furoshiki alat yang bernilai sepanjang sejarah Jepang.
Pada masa Jepang kuno, membungkus sesuatu dianggap sebagai bentuk rasa hormat dan perhatian.
Membungkus barang, terutama hadiah, dengan cermat adalah cara untuk menunjukkan niat baik dan doa untuk kebahagiaan penerima.
Perhatian dalam cara menyajikan sesuatu, baik itu hadiah atau barang sehari-hari, menjadi nilai penting dalam budaya Jepang. Furoshiki pun dihargai karena hal ini.
Hal paling menarik dari furoshiki, terutama di era sekarang, adalah aspek keberlanjutannya.
Di tengah maraknya penggunaan plastik sekali pakai dan kemasan sekali pakai, furoshiki memberikan alternatif ramah lingkungan.
Menggunakan kain untuk membungkus dan membawa barang bisa mengurangi penggunaan kantong plastik dan kertas kado, yang banyak berkontribusi pada sampah.
Selain ramah lingkungan, furoshiki juga menambah sentuhan estetika dalam kehidupan sehari-hari.
Praktik membungkus barang dengan furoshiki juga berkaitan dengan konsep mottainai (勿体無い).
Istilah ini mengajarkan untuk tidak membuang apa pun dan memanfaatkan sumber daya sebaik mungkin.
Filosofi ini mendorong penggunaan sumber daya secara bijak, yang tercermin jelas dalam penggunaan furoshiki.
Pengunaan kain ini secara berulang dan mewariskannya turun temurun dapat mengurangi bahan sekali pakai dan dampak terhadap lingkungan bisa dikurangi.
Baca juga:
Ada banyak teknik melipat furoshiki yang menjadikan kain ini semakin menarik.
Cara melipat furoshiki disesuaikan dengan barang yang dibungkus.
Lipatannya dapat bervariasi tergantung pada barang yang dibungkus dan hasil yang diinginkan.
Misalnya, membungkus bento dengan furoshiki merupakan seni tersendiri.
Ada lipatan khusus yang membantu mengamankan kotak sekaligus mempercantik tampilannya.
Pengalaman dengan furoshiki membuat saya menghargai kepraktisan, keindahan, dan makna budayanya.
Ini adalah cara kecil dan mendalam untuk memasukkan keberlanjutan ke dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sekaligus menghormati tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Dengan memilih furoshiki untuk membungkus bento atau hadiah, kita tidak hanya mengurangi sampah, tetapi juga menganut budaya perhatian dan keramahtamahan.
Ini adalah pengingat yang indah bahwa bahkan hal-hal yang paling sederhana, seperti sepotong kain persegi, dapat memberikan dampak yang bertahan lama pada dunia kita.
Sumber:
Ulasan ini disampaikan oleh Axel, WNI yang kerja di Tokyo. Ia suka bernyanyi, mendengarkan musik, dan berjalan-jalan di kota.
Konten disediakan oleh Karaksa Media Partner (23 Desember 2024)
View this post on Instagram