Berbicara to the point atau tanpa basa-basi dinilai lebih jelas, berani, dan efisien. Namun, apakah cara itu selalu menjadi pendekatan terbaik? Tidak selalu, terutama di Jepang.
Seni bersikap tidak langsung (婉曲, enkyoku) bervariasi dalam tingkatan, dari ekspresi empati sederhana (omoiyari) hingga metode halus untuk menyampaikan ketidakpuasan.
Namun, apa sebenarnya maksudnya, khususnya dalam lingkungan profesional?
Baca juga: Omoiyari, Konsep Kasih Sayang dan Empati Terhadap Orang Lain ala Jepang
Enkyoku teki mengacu pada ketidaklangsungan, ungkapan bertele-tele, atau eufemisme.
Kira-kira maksudnya berbicara tidak to the point atau mengungkapkan sesuatu dengan cara yang tidak terlalu langsung.
Demi kesederhanaan, mari kita sebut saja enkyoku teki sebagai komunikasi tidak langsung dalam artikel ini.
Komunikasi tidak langsung umum terjadi di berbagai belahan dunia.
Misalnya, di Indonesia, ketika seseorang membutuhkan sesuatu, mereka sering kali mengisyaratkan permintaan mereka daripada menyatakannya secara langsung.
Jika perlu meminjam uang dari seorang teman, kamu dapat memulai dengan mengatakan, "Wah, kondisiku sulit, dompetku kering seperti gurun pasir,” daripada langsung meminta uang.
Di Tokyo, tempat saya bekerja saat ini, sikap tidak langsung sering kali muncul dalam rapat dan percakapan yang sopan.
Contoh umum adalah frasa "と思います" (to omoimasu) yang secara kasar diterjemahkan menjadi "Saya pikir".
Ungkapan ini biasanya diawali dengan suatu pendapat atau keinginan, seperti:
Meskipun ini mungkin terdengar normal, tetapi bagi orang asing hal itu bisa terdengar ragu-ragu.
Awalnya, hal itu mungkin tampak hanya sebagai cara untuk memperhalus pendapat seseorang, tetapi sebenarnya lebih dalam.
Frasa "menurut saya" memungkinkan orang lain untuk tidak setuju dengan lebih nyaman dan membantu menghindari menempatkan seseorang dalam posisi sulit.
Ditambah lagi, hal itu memperhalus kekagetan ketika pendapatmu ditolak, membuat ketidaksetujuan menjadi tidak terlalu konfrontatif.
Misalnya, jika kamu menyebutkan bahwa dompet kosong, orang lain mungkin akan menjawab dengan "Sama juga" atau "Saya tahu, ini sulit," yang secara tidak langsung berarti, "Saya tidak akan meminjamkan kamu uang, apa pun alasannya."
Di sisi lain, jika kamu bertanya langsung, "Bisakah saya meminjam uang?" tanggapan mereka bisa jadi jelas "Ya" atau "Tidak," yang mungkin membuat interaksi menjadi lebih canggung atau mengungkapkan sisi lain dari karakter mereka.
Dengan mengisyaratkan suatu kebutuhan, kedua belah pihak dapat menavigasi percakapan dengan lebih nyaman, terutama ketika menyangkut ketidaksetujuan.
Tentu saja, keterusterangan juga dihargai dalam konteks tertentu, terutama ketika kamu mengenal orang lain dengan baik.
Baca juga: Omiyage, Budaya Beri Hadiah di Jepang yang Utamakan Kerendahan Hati
Menurut pengamatan saya, komunikasi tidak langsung di Kyoto memiliki cara yang berbeda.
Kyoto dikenal dengan ketidaklangsungannya yang halus, terkadang menyindir, yang bahkan bisa tampak menakutkan. Berikut beberapa contohnya:
1. "Jam tangan kamu bagus." (いい時計ですね, ii tokei desu ne):
Jika seseorang menyebutkan jam tanganmu saat mengobrol, itu mungkin bukan pujian.
Di Kyoto, kalimat itu bisa menjadi petunjuk halus bahwa mereka bosan, lelah, atau siap untuk mengakhiri percakapan.
Mereka mungkin menggunakan komentar ini untuk memberi isyarat, "Silakan cek sekarang jam berapa."
2. "Apakah kamu mau secangkir teh lagi?" (お茶のおかわりいりますか?, ocha no okawari irimasu ka?):
Pertanyaan ini yang sering diajukan oleh seorang pelayan di restoran, mungkin tampak seperti standar keramahtamahan.
Namun, di Kyoto, itu bisa berarti, "Kamu harus pergi sekarang."
Dengan menanyakan apakah kamu ingin teh lagi, mereka menyiratkan, "Saya sudah mengisi ulang cangkir Anda beberapa kali; sekarang saatnya Anda pergi."
Pesan halus ini bisa menunjukkan bahwa ada tamu lain yang menunggu atau kamu sudah terlalu lama berada di sana.
3. "Apakah kamu sudah lama bekerja di sini?" (ここで働いてはもう長いですか?, koko de hataraite wa, mou nagai desu ka?)
Pertanyaan ini bisa menjadi cara halus untuk mengungkapkan ketidakpuasan.
Jika kamu seorang pekerja layanan dan melakukan kesalahan, pertanyaan tersebut dapat menyiratkan, "Apakah kamu berpengalaman? Kamu tampaknya tidak kompeten," atau "Apakah kamu orang baru dan membuang-buang waktu saya?"
Jawaban mana pun dapat mengecewakan, pernyataan itu memang tidak langsung tetapi sangat berdampak.
Sikap tidak langsung merupakan alat untuk menjaga percakapan tetap menyenangkan dan menghindari ketegangan, bahkan saat pendapat berbeda.
Sikap tidak langsung tidak bersifat bimbang tetapi memiliki tujuan, mirip dengan cara kerja komunikasi tidak langsung dalam budaya lain seperti Indonesia.
Saya harap artikel ini membantu kamu lebih memahami nuansa budaya ini dan menikmati interaksimu di Jepang.
Baca juga: Budaya Tepat Waktu di Jepang, Hargai Diri Sendiri dan Orang Lain
Ulasan di atas disampaikan oleh Karsten Dwinata, WNI yang kerja di Tokyo. Ia suka melakukan kegiatan mengasyikkan seperti bermain gim dan bertukar pikiran.
Konten disediakan oleh Karaksa Media Partner (Desember 2024)
View this post on Instagram