Banyak orang Indonesia yang bekerja di Jepang merasakan pengalaman berharga sekaligus penuh tantangan.
Suasana kantor yang berbeda, aturan yang ketat, hingga kebiasaan sehari-hari sering menimbulkan kejutan budaya atau culture shock.
Di balik itu semua, budaya kerja Jepang punya sisi disiplin dan profesionalisme yang bisa menjadi pelajaran berharga.
Kalau memahami aturan hukum maupun budaya, proses adaptasi kerja bisa terasa lebih ringan.
Baca juga:
Secara hukum, jam kerja di Jepang dibatasi delapan jam per hari atau 40 jam per minggu.
Namun kenyataannya sering berbeda.
Data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang (MHLW) pada 2023 menunjukkan lebih dari 30 persen pekerja mengaku lembur lebih dari 45 jam per bulan.
Angka ini sudah dikaitkan dengan risiko karōshi atau kematian akibat terlalu banyak bekerja.
Menghadapi situasi ini, pekerja Indonesia perlu pintar mengatur waktu.
Gunakan alat bantu produktivitas, komunikasikan beban kerja kepada atasan bila terasa berlebihan, dan jangan lupa memanfaatkan hak cuti tahunan (nenkyū).
Banyak pekerja Indonesia terkejut dengan suasana kantor Jepang yang sangat formal.
Budaya senpai–kōhai (senior–junior) masih terasa kuat; mulai dari cara berbicara dengan bahasa sopan (keigo), cara duduk, hingga tata cara menyerahkan kartu nama (meishi).
Untuk menyesuaikan diri, pelajari etika bisnis dasar Jepang dan amati perilaku rekan kerja senior.
Bila ragu, jangan sungkan bertanya pada kolega yang lebih berpengalaman.
Sikap hormat pada senior akan membantu membangun hubungan kerja yang lebih baik.
Budaya kerja Jepang sangat mengutamakan keharmonisan. Kritik atau ketidaksetujuan jarang disampaikan secara langsung.
Ungkapan seperti “mungkin perlu dipertimbangkan lagi” bisa berarti penolakan halus.
Pekerja Indonesia perlu lebih peka pada nada suara, konteks, dan bahasa tubuh. Jangan menganggap kata-kata sopan sebagai persetujuan penuh.
Gunakan juga ungkapan diplomatis, misalnya “mungkin bisa kita coba cara lain,” agar komunikasi tetap berjalan lancar tanpa menyinggung.
Kebiasaan nomikai atau minum bersama setelah kerja bukan sekadar bersenang-senang, tapi juga cara membangun kebersamaan tim.
Walaupun alkohol biasanya disajikan, tujuan utama kegiatan ini adalah mempererat hubungan.
Bagi pekerja Indonesia yang tidak minum alkohol karena alasan agama atau kesehatan, kehadiran saja sudah dianggap bentuk partisipasi.
Apalagi banyak perusahaan kini menyediakan pilihan minuman non-alkohol, sehingga semua orang bisa ikut merasa diterima.
Secara hukum, karyawan di Jepang berhak atas minimal 10 hari cuti berbayar di tahun pertama kerja, dan jumlahnya akan bertambah sesuai masa kerja.
Meski begitu, banyak pekerja merasa segan mengambil cuti karena takut membebani rekan kerja.
Cara terbaik mengatasinya adalah dengan mengajukan cuti sejak jauh hari dan menyampaikan rencana kerja yang jelas pada tim.
Hindari pengajuan cuti di masa sibuk seperti akhir tahun fiskal. Dengan komunikasi yang baik, cuti bisa digunakan tanpa menimbulkan masalah.
Jepang dikenal sangat menghargai ketepatan waktu dan ketelitian.
Hal kecil seperti format email, pemilihan kata, hingga cara membuat laporan dianggap mencerminkan profesionalisme.
Pekerja Indonesia sebaiknya menggunakan daftar cek atau template agar lebih teratur.
Anggap standar tinggi ini sebagai jalan untuk berkembang, baik secara pribadi maupun profesional.
Bekerja di Jepang memang menantang, terutama bagi mereka yang terbiasa dengan budaya kerja lebih fleksibel di Indonesia.
Namun, dengan memahami aturan dan kebiasaan lokal, proses adaptasi bisa berjalan lebih mulus.
Bagi banyak orang Indonesia, pengalaman ini akhirnya menjadi pelajaran berharga tentang disiplin, profesionalisme, dan pertumbuhan lintas budaya.
Sumber:
Penulis: Karaksa Media Partner (Agustus 2025)
View this post on Instagram