Akhir pekan kemarin, saya berkunjung ke Hiratsuka, sebuah kota pesisir di Prefektur Kanagawa.
Di sanalah saya ikut larut dalam kemeriahan Shōnan Yosakoi Matsuri. Menjelang malam, para penari mulai berdatangan.
Anak-anak mengenakan happi coat warna-warni, mahasiswa tampil kompak dengan seragamnya, dan para lansia pun tak kalah bersemangat.
Di tangan mereka tergenggam naruko, alat musik kayu kecil yang ditepuk-tepukkan dengan ritme cepat dan serempak.
Tarian demi tarian pun dimulai. Beberapa tim membawa kipas, tongkat, atau bendera yang berkibar mengikuti gerakan tubuh.
Koreografinya lincah, penuh energi, dan sangat hidup. Kostum mereka berlapis-lapis, dipenuhi motif gelombang, bunga, dan bentuk geometris yang semakin mencolok di bawah cahaya lampu jalan.
Dalam setiap tepukan naruko, terasa denyut semangat festival yang menular ke semua penonton.
Dari pengalaman ini, saya jadi makin penasaran dengan kekayaan budaya Jepang, khususnya tarian-tarian tradisional yang sering hadir dalam festival.
Masing-masing punya cerita, irama, dan suasana yang berbeda. Berikut empat jenis tarian yang sering dirayakan di berbagai daerah Jepang.
Baca juga:
Yosakoi berasal dari Prefektur Kōchi, muncul setelah Perang Dunia II sebagai bentuk semangat baru bagi masyarakat.
Ciri khas dari tarian ini adalah penggunaan lagu “Yosakoi Naruko Dancing” dan alat naruko yang wajib dibawa setiap penari.
Menariknya, meski dua unsur ini wajib ada, tim-tim bebas berkreasi dalam memilih musik, kostum, hingga tema.
Di beberapa daerah, Yosakoi bahkan dikembangkan dengan sentuhan lokal.
Salah satunya di Sapporo yang punya versi Sōran, memadukan lagu rakyat daerah setempat.
Inilah keunikan Yosakoi, meski berakar dari tradisi, tarian ini terbuka terhadap inovasi.
Setiap tim membawa warna dan cerita sendiri, membuat pertunjukannya tak pernah membosankan.
Saat bulan Agustus tiba, Prefektur Tokushima berubah jadi panggung raksasa untuk Awa Odori.
Ratusan penari yang tergabung dalam kelompok ren menari berbaris di jalan-jalan kota, mengikuti alunan shamisen dan drum yang khas.
Tarian ini berasal dari arak-arakan pedagang di masa lalu, kini menjadi perayaan besar yang penuh semangat kebersamaan.
Festival Awa Odori biasanya dibuka pada 9 Agustus di Kota Naruto, lalu dilanjutkan di berbagai kota lain di Tokushima.
Para penari mengenakan yokawashi (jaket tari) dan amigasa (topi jerami), sambil meneriakkan yel-yel “Yone ya yassa” yang jadi ciri khasnya.
Tak hanya menyenangkan untuk ditonton, Awa Odori juga jadi cara warga bersyukur atas panen dan rezeki.
Di ujung selatan Jepang, Okinawa punya tarian tradisional yang sangat berbeda: Ryūkyū Buyō.
Tarian ini dulunya ditampilkan di istana kerajaan dan kini masih dipertunjukkan di berbagai acara budaya.
Secara garis besar, Ryūkyū Buyō terbagi menjadi tiga jenis: koten buyō (tarian istana), zō-odori (tarian rakyat), dan sōsaku buyō (tarian kreatif masa kini).
Gerakan koten buyō sangat anggun dan penuh makna, menggambarkan keagungan diplomatik masa kerajaan.
Sementara zō-odori lebih ceria dan membumi, menggambarkan kehidupan rakyat biasa.
Tarian ini menunjukkan pengaruh kuat dari budaya Tiongkok, Asia Tenggara, dan Jepang yang pernah menyatu di Okinawa.
Furyū-odori dikenal sebagai tarian festival yang penuh warna dan keanggunan. Kata “furyū” berarti megah atau elegan.
Dalam tarian ini, para penari mengenakan kostum rumit lengkap dengan hiasan kepala unik dan peralatan khas buatan tangan.
Musiknya terdiri dari lagu festival yang diiringi seruling, taiko, dan gong kecil.
Setiap gerakan penari dirancang untuk memikat penonton sekaligus menjaga warisan budaya lokal.
Tak heran, Furyū-odori telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Badan Urusan Kebudayaan Jepang.
Di balik gemerlapnya, tarian ini membawa pesan tentang identitas dan kebanggaan daerah.
Dari Hiratsuka hingga Okinawa, dari suara naruko yang menggema hingga gerakan anggun para penari istana, festival-festival ini menawarkan lebih dari sekadar tontonan.
Mereka jadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan inovasi.
Jika suatu hari kamu berada di Jepang saat musim festival, sempatkanlah untuk menari atau setidaknya ikut merasakan semangat yang menyatukan banyak orang dalam satu irama.
Sumber:
Penulis: Hazuvlen, pekerja Indonesia yang gemar menjelajah Tokyo sambil membawa camilan manis.
Konten disediakan oleh Karaksa Media Partner (Juli 2025)
View this post on Instagram