Salah satu pekerjaan di Jepang yang terbuka untuk perempuan Indonesia adalah perawatan lansia atau kaigo.
Mengingat tingginya kebutuhan tenaga kerja di Jepang akibat populasi lansia yang terus meningkat, sektor ini menawarkan peluang besar, terutama bagi perempuan Indonesia.
Namun, meskipun peluangnya terbuka lebar, bekerja sebagai caregiver di Jepang tidak semudah mengajukan lamaran.
Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi, mulai dari usia, jenis visa, kemampuan bahasa, hingga kesiapan mental.
Artikel ini mengulas lebih dalam mengenai bagaimana perempuan Indonesia mempersiapkan diri untuk bekerja di sektor kaigo Jepang.
Baca juga:
Jepang menghadapi krisis demografi dengan tingkat kelahiran yang rendah dan populasi lansia yang semakin bertambah.
Saat ini, lebih dari 29 persen penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas, dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga hampir 35 persen pada 2040.
Kondisi ini menciptakan kebutuhan besar akan tenaga kerja di sektor caregiving.
Jepang akan membutuhkan sekitar 2,45 juta caregiver pada 2025, tetapi kekurangan tenaga kerja diperkirakan mencapai hampir 340.000 orang.
Demi memenuhi kebutuhan ini, Jepang membuka pintu bagi caregiver asing, termasuk Indonesia, melalui program Economic Partnership Agreement (EPA) dan Specified Skilled Worker (SSW).
Indonesia menjadi salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar untuk sektor ini dengan ribuan caregiver dikirim setiap tahun.
Ada dua jalur utama yang bisa diikuti bagi perempuan Indonesia yang ingin bekerja di Jepang sebagai perawat lansia yaitu melalui Economic Partnership Agreement (EPA) dan Specified Skilled Worker (SSW).
Program EPA adalah jalur kerja pertama yang dibuka bagi tenaga kerja Indonesia di bidang caregiving.
Melalui program ini, peserta mendapatkan pelatihan bahasa Jepang dan keterampilan caregiving di Indonesia sebelum diberangkatkan ke Jepang.
Syarat utama EPA:
Jalur SSW lebih fleksibel dibandingkan EPA, karena tidak mensyaratkan ijazah keperawatan.
Namun, pelamar tetap harus lulus ujian keterampilan caregiving dan tes bahasa Jepang.
Syarat utama SSW:
Lulus ujian keterampilan caregiving (kaigo)
Memiliki sertifikasi JLPT N4 atau JFT-Basic
Lulus pelatihan dari training center resmi di Indonesia
Usia pelamar berkisar antara 19–35 tahun
Baca juga:
Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk bekerja sebagai caregiver di Jepang. Mulai dari usia, pendidikan, dokumen administrasi, hingga kesiapan mental.
Pekerjaan caregiving membutuhkan stamina fisik yang cukup, karena para caregiver sering harus memindahkan pasien, berjaga malam, dan menghadapi keadaan darurat.
Umumnya, pelamar lebih muda lebih diutamakan.
Ijazah SMA sudah cukup untuk jalur SSW. Sementara untuk EPA, pelamar harus memiliki pendidikan D3 Keperawatan atau bidang terkait.
Proses untuk menjadi caregiver di Jepang dimulai dengan mengikuti program dari lembaga pelatihan atau agen penyalur yang diakui oleh BP2MI.
Program ini mencakup pelatihan keterampilan caregiving, bahasa Jepang, serta pengenalan budaya kerja Jepang.
Meski proses ini memerlukan biaya untuk visa, pelatihan, dan tes bahasa, semuanya merupakan langkah terstruktur menuju karier profesional di Jepang.
Penguasaan bahasa Jepang menjadi hal yang sangat penting.
Selain tata bahasa dan kosakata umum, caregiver juga harus bisa memahami dialek lokal dan berinteraksi dengan lansia yang mungkin mengalami gangguan kognitif.
Proses belajar bahasa menjadi latihan empati dan kesabaran yang penting dalam pekerjaan ini.
Bekerja sebagai caregiver di Jepang bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga kesiapan mental dan emosional.
Sistem kerja yang terstruktur, komunikasi hierarkis, dan budaya kerja yang disiplin menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Banyak caregiver Indonesia yang akhirnya berhasil menyesuaikan diri dan menghargai nilai profesionalisme di tempat kerja.
Baca juga:
Setelah sampai di Jepang, ada beberapa tantangan yang mungkin dihadapi oleh caregiver Indonesia, antara lain:
Di Jepang, caregiver diharapkan untuk selalu tepat waktu, patuh pada hierarki, dan teliti dalam mencatat kondisi pasien.
Kegagalan dalam memenuhi standar ini bisa berujung pada teguran atau sanksi.
Sebagian besar caregiver tinggal di asrama atau hunian bersama. Walaupun hal ini memperkuat kebersamaan, terbatasnya privasi menjadi tantangan.
Selain itu, beradaptasi dengan sistem perbankan, asuransi kesehatan, dan kehidupan sehari-hari di Jepang bisa terasa sulit.
Hal ini terutama berlaku di daerah pedesaan, di mana akses bahasa atau fasilitas yang memadai terbatas.
Bekerja sebagai caregiver di Jepang tidak hanya menawarkan penghasilan yang lebih baik, tetapi juga peluang untuk berkembang.
Bagi mereka yang berhasil lulus ujian caregiving, peluang untuk mengajukan visa jangka panjang terbuka lebar.
Visa SSW bisa diperpanjang hingga lima tahun dan ada kesempatan untuk melanjutkan pendidikan atau pindah ke posisi yang lebih spesifik.
Bagi peserta EPA, setelah lulus ujian nasional caregiving, ada kesempatan untuk mengajukan visa permanen atau reunifikasi keluarga.
Semua peluang ini menunjukkan bahwa sektor caregiving bukan hanya tentang bekerja, tetapi juga tentang berkembang dan meraih kehidupan yang lebih baik.
Syarat kerja di Jepang untuk wanita, khususnya di sektor caregiving, bukan hanya soal ijazah atau kelulusan ujian.
Pekerjaan ini membutuhkan kekuatan fisik, ketahanan emosional, dan kemampuan beradaptasi dengan budaya kerja Jepang yang sangat disiplin.
Bagi perempuan Indonesia yang siap menghadapi tantangan ini, sektor caregiving menawarkan peluang besar untuk karier yang lebih baik.
Banyak perempuan Indonesia berhasil membangun karier dan kehidupan di Jepang dengan persiapan matang dan dukungan yang tepat.
Mereka berkembang tidak hanya sebagai pekerja, tetapi juga sebagai individu melalui pengalaman lintas budaya.
Sumber:
View this post on Instagram