Ada sekitar 1,5 juta orang yang dikenal sebagai hikikomori di Jepang.
Hikikomori adalah orang yang memilih menarik diri dari kehidupan sosial dan mengurung diri, sering kali tinggal bersama orang tua yang sudah lanjut usia.
Selama ini, banyak dari mereka menjalani hidup dalam diam, jauh dari sorotan publik. Namun, kini mulai muncul harapan baru.
Baca juga:
Melansir Kyodo News (3/7/2025) sebuah majalah triwulanan bernama SHIP! khusus hikikomori resmi diluncurkan April lalu.
Majalah ini direncanakan, disunting, dan diterbitkan oleh mereka yang punya pengalaman langsung sebagai hikikomori atau pernah mendampingi orang dalam situasi serupa.
Lewat SHIP!, mereka ingin menyampaikan pesan sederhana tapi penting. Setiap orang berhak hidup dengan bahagia, tanpa merasa malu dengan pilihannya.
Nama SHIP! sendiri merupakan singkatan dari Social, Human Rights, Inclusive, Peer, nilai yang jadi dasar gerakan ini.
Edisi perdana majalah ini mengangkat tema “Breaking Down Preconceived Notions” atau membongkar prasangka.
Isinya memuat cerita pribadi dari para hikikomori dan keluarga mereka, wawancara bersama pakar, serta refleksi soal tekanan sosial yang sering luput dipahami.
Selama ini, dukungan pemerintah Jepang terhadap hikikomori cenderung berfokus pada kemandirian ekonomi, seperti mendorong mereka untuk segera bekerja.
Namun, Januari lalu Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang meluncurkan panduan baru berjudul The Hikikomori Support Handbook: A Compass for Supporting Hikikomori.
Panduan ini membawa pendekatan baru: pekerjaan dan partisipasi sosial dipandang hanya sebagai sarana, bukan tujuan utama.
Hal penting adalah membantu mereka menemukan cara hidup yang sesuai pilihan mereka sendiri, lewat dialog hangat bersama keluarga atau pendamping, bukan lewat tekanan.
Perubahan ini muncul karena banyak kasus, terutama dalam apa yang dikenal sebagai masalah “8050”, saat orang berusia 80-an tahun masih mendukung anak mereka yang hikikomori pada usia 50-an.
Bahkan, ada praktik buruk dari pihak tak resmi yang dikenal sebagai hikidashi-ya.
Mereka menawarkan jasa menarik paksa hikikomori keluar dari rumah dengan iming-iming rehabilitasi, lengkap dengan biaya mahal.
Beberapa korban sudah berhasil memenangkan gugatan hukum atas perlakuan tersebut.
Salah satu sosok di balik SHIP! adalah Rika Ueda, 53 tahun. Di usia 20-an, ia pernah mengalami fase sebagai hikikomori.
Setelah lulus kuliah, Ueda mengalami masa sulit, berganti pekerjaan lebih dari 20 kali.
Ia adalah bagian dari generasi Employment Ice Age, yang sulit mendapatkan pekerjaan tetap setelah ekonomi Jepang jatuh pada 1990-an.
Tak hanya ekonomi, Ueda juga menghadapi diskriminasi gender, tekanan kerja berlebihan, hingga perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerja.
Semua ini membuatnya makin menarik diri.
“Saya merasa seperti tidak berarti di mata masyarakat,” ungkapnya. Bahkan, ibunya pun menyalahkan diri sendiri, merasa gagal membimbing putrinya.
Titik balik muncul saat Ueda bertemu seseorang yang juga hikikomori dalam sebuah pertemuan keluarga di Tokyo.
Mendengar kisahnya, Ueda merasa tersentuh.
“Ternyata saya tidak sendirian,” katanya.
Sejak itu, ia mulai bangkit, dan kini aktif mengajak orang lain untuk bicara soal pengalaman mereka.
Mei lalu, jaringan SHIP! menggelar serangkaian acara, termasuk 10 seminar yang membahas isi panduan baru dari pemerintah.
Lewat acara ini, SHIP! ingin menekankan bahwa dialog bukan berarti memaksakan jawaban.
“Saya ingin semua orang merasa tidak apa-apa untuk mendengarkan suara hati mereka sendiri, meskipun hidup di tengah kerasnya masyarakat,” kata Ueda.
Menurutnya, SHIP! adalah “kapal” yang akan terus membawa pesan itu, mengajak orang berpikir bersama, dan bertanya tanpa menghakimi.
Kisah SHIP! dan perubahan kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa Jepang perlahan mulai membuka mata bahwa hikikomori bukan sekadar soal bekerja atau tidak, melainkan soal memberi ruang untuk memilih dan didengar.
Ini bukan jalan yang mudah, tapi setiap langkah kecil membawa arti besar.
Bagi mereka yang pernah hidup dalam diam, kini perlahan mulai ada tempat untuk bersuara.
© Kyodo News
View this post on Instagram