Ohayo Jepang
Powered by

Share this page

Fakta & Data

Demam Matcha Global, Petani Teh Jepang Kewalahan Penuhi Permintaan

Kompas.com - 28/06/2025, 19:05 WIB

Permintaan global terhadap matcha, teh hijau bubuk khas Jepang, melonjak tajam dalam beberapa tahun terakhir.

Popularitas matcha meledak terutama di media sosial sehingga membuat banyak petani teh kewalahan memenuhi kebutuhan pasar.

Baca juga:

Demam Matcha di Negara Barat

Sebuah kedai teh bernama Kettl Tea di Los Angeles hanya menyediakan empat dari 25 jenis matcha yang tercantum dalam menu.

Pemilik kedai, Zach Mangan, mengaku kerap kesulitan menjelaskan kepada pelanggan bahwa produk yang mereka cari sedang kosong.

“Popularitas matcha meningkat pesat dalam satu dekade terakhir, tapi lonjakannya benar-benar terasa dalam dua hingga tiga tahun belakangan,” ujar Mangan mengutip kantor berita AFP, (26/6/2025).

Matcha kini hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari es krim hingga menu kedai kopi terkenal seperti Starbucks.

Warna hijau cerah dan kesan menyegarkan menjadikan matcha daya tarik baru di kalangan konsumen Barat.

Menurut Mangan, pasar matcha bahkan hampir dua kali lipat dalam setahun terakhir.

“Kami sudah mencoba berbagai cara, tapi tetap saja tidak cukup. Pasokannya terbatas,” katanya.

Ilustrasi orang menuang matcha ke dalam cangkir.
Ilustrasi orang menuang matcha ke dalam cangkir.

Produksi Matcha Tidak Sederhana

Di Sayama, barat laut Tokyo, Masahiro Okutomi menjalankan bisnis teh keluarga yang telah berusia 15 generasi.

Ia terpaksa menghentikan sementara pesanan matcha melalui situs web karena tidak sanggup memenuhi permintaan yang terus meningkat.

Proses pembuatan matcha tidaklah mudah. Daun teh yang disebut tencha harus dilindungi dari sinar matahari selama beberapa minggu sebelum dipanen.

Metode ini bertujuan untuk mempertajam rasa dan meningkatkan kandungan nutrisi daun.

Setelah itu, daun harus dipisahkan dari tulangnya secara manual, dikeringkan, lalu digiling halus menggunakan mesin khusus.

“Butuh waktu bertahun-tahun untuk mempelajari cara membuat matcha dengan benar,” jelas Okutomi.

“Ini adalah proses jangka panjang yang membutuhkan alat, tenaga kerja, dan investasi besar.”

Menurut Okutomi, meskipun ia senang karena dunia mulai mengenal matcha Jepang, peningkatan permintaan yang terlalu cepat justru menjadi tantangan besar.

“Dalam jangka pendek, situasi ini seperti ancaman. Kami tidak bisa mengejar,” ujarnya.

Tempat ini memungkinkan pengunjung merasakan cara menggiling matcha dan membuat teh hoji.
Tempat ini memungkinkan pengunjung merasakan cara menggiling matcha dan membuat teh hoji.

Media Sosial Dorong Tren Matcha

Media sosial menjadi salah satu faktor utama yang mendorong popularitas matcha.

Influencer asal Prancis, Andie Ella, berhasil menarik perhatian dengan konten seputar matcha yang ia bagikan kepada lebih dari 600.000 pelanggan di YouTube.

Di toko pop-up miliknya di Harajuku, Tokyo, penggemar datang berbondong-bondong untuk membeli produk matcha beraroma stroberi dan cokelat putih, sekaligus berfoto bersama sang kreator.

Matcha yang ia jual diproduksi di Prefektur Mie, Jepang.

Sejak diluncurkan pada November 2023, merek tersebut sudah menjual 133.000 kaleng dan kini mempekerjakan delapan orang.

“Permintaan tidak pernah berhenti tumbuh,” kata Ella. Ia menambahkan, tampilan visual matcha yang menarik menjadi alasan utama mengapa produk ini begitu digemari.

Tekanan Produksi dan Keterbatasan Tenaga

Menurut data dari Kementerian Pertanian Jepang pada 2024, matcha menyumbang lebih dari separuh dari total ekspor teh hijau Jepang yang mencapai 8.798 ton. 

Angka ini dua kali lipat dibandingkan satu dekade lalu.

Di toko teh Jugetsudo di kawasan Tsukiji, Tokyo, permintaan yang terus meningkat mendorong pengelola untuk lebih selektif dalam menjual produk.

“Kami tidak secara ketat membatasi pembelian, tapi kami menolak permintaan dalam jumlah besar jika ada indikasi akan dijual kembali,” kata manajer toko, Shigehito Nishikida.

Ia mengatakan bahwa dalam dua hingga tiga tahun terakhir, minat konsumen meningkat tajam.

Banyak dari mereka ingin mencoba membuat matcha sendiri setelah melihatnya di media sosial.

Ancaman Tarif dan Harga Makin Mahal

Kebijakan tarif dari pemerintah Amerika Serikat juga menambah tekanan.

Tarif impor terhadap produk Jepang saat ini sebesar 10 persen dan ada rencana kenaikan hingga 24 persen.

Zach Mangan mengaku tidak punya pilihan selain menaikkan harga matcha. “Kami tidak mengambil keputusan ini dengan ringan,” ujarnya.

Namun, kenaikan harga belum membuat konsumen mundur.

“Mereka bilang, ‘Saya mau beli sebelum kehabisan.’”

Di Kettl Tea, matcha bisa dinikmati dalam bentuk latte dengan susu, atau disajikan secara tradisional menggunakan air panas dan mangkuk keramik.

Harga satu gelas matcha mencapai 10 dollar AS (sekitar Rp 162.000). 

Sementara itu, bubuk matcha seberat 20 gram untuk konsumsi rumahan dijual dengan harga antara 25 hingga 150 dollar AS (sekitar Rp 405.000-Rp 2,4 juta).

Pemerintah Jepang mendorong para petani untuk meningkatkan skala produksi demi menekan biaya.

Namun, menurut Okutomi, langkah ini bisa mengorbankan kualitas. Selain itu, menerapkannya di wilayah pedesaan sangat sulit karena keterbatasan sumber daya.

Jumlah kebun teh di Jepang kini hanya seperempat dari jumlah dua dekade lalu. Banyak petani yang menua dan kesulitan menemukan penerus.

“Melatih generasi baru butuh waktu. Ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan secara mendadak,” pungkas Okutomi.

          View this post on Instagram                      

A post shared by Ohayo Jepang (@ohayo_jepang)

Halaman:
Editor : YUHARRANI AISYAH

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
 
Pilihan Untukmu
Close Ads

Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.