“Kami tidak secara ketat membatasi pembelian, tapi kami menolak permintaan dalam jumlah besar jika ada indikasi akan dijual kembali,” kata manajer toko, Shigehito Nishikida.
Ia mengatakan bahwa dalam dua hingga tiga tahun terakhir, minat konsumen meningkat tajam.
Banyak dari mereka ingin mencoba membuat matcha sendiri setelah melihatnya di media sosial.
Kebijakan tarif dari pemerintah Amerika Serikat juga menambah tekanan.
Tarif impor terhadap produk Jepang saat ini sebesar 10 persen dan ada rencana kenaikan hingga 24 persen.
Zach Mangan mengaku tidak punya pilihan selain menaikkan harga matcha. “Kami tidak mengambil keputusan ini dengan ringan,” ujarnya.
Namun, kenaikan harga belum membuat konsumen mundur.
“Mereka bilang, ‘Saya mau beli sebelum kehabisan.’”
Di Kettl Tea, matcha bisa dinikmati dalam bentuk latte dengan susu, atau disajikan secara tradisional menggunakan air panas dan mangkuk keramik.
Harga satu gelas matcha mencapai 10 dollar AS (sekitar Rp 162.000).
Sementara itu, bubuk matcha seberat 20 gram untuk konsumsi rumahan dijual dengan harga antara 25 hingga 150 dollar AS (sekitar Rp 405.000-Rp 2,4 juta).
Pemerintah Jepang mendorong para petani untuk meningkatkan skala produksi demi menekan biaya.
Namun, menurut Okutomi, langkah ini bisa mengorbankan kualitas. Selain itu, menerapkannya di wilayah pedesaan sangat sulit karena keterbatasan sumber daya.
Jumlah kebun teh di Jepang kini hanya seperempat dari jumlah dua dekade lalu. Banyak petani yang menua dan kesulitan menemukan penerus.
“Melatih generasi baru butuh waktu. Ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan secara mendadak,” pungkas Okutomi.
View this post on Instagram