Pada saat yang sama, seiring dengan populasi Jepang yang menua, banyak petani padi sudah lanjut usia dan anak-anak mereka enggan meneruskan usaha tersebut.
Menurut data Kementerian Pertanian Jepang, hampir 90 persen lahan pertanian dikelola oleh petani berusia di atas 60 tahun, dan 70 persen tidak memiliki penerus.
Luas lahan sawah menyusut menjadi 2,3 juta hektar pada 2024, turun dari puncaknya 3,4 juta hektar pada 1961.
“Pemerintah Jepang selama ini fokus pada bagaimana mengurangi produksi beras demi mengendalikan pasar, bukan bagaimana meningkatkan konsumsi beras,” kata Tadao Koike, generasi ketiga pengelola toko beras di Tokyo yang berdiri lebih dari 90 tahun.
“Sekarang kita semua menanggung akibatnya,” ujarnya kepada AFP.
Baca juga:
Pemerintah Jepang mulai melelang sebagian cadangan daruratnya pada Februari, setelah sebelumnya hanya digunakan saat bencana.
Ini pertama kalinya sejak gudang tersebut dibangun pada 1995, masalah rantai pasokan menjadi pemicunya.
Namun, seperti terlihat dari data terbaru, langkah ini justru belum memberikan dampak signifikan.
Asisten profesor di Universitas Utsunomiya, Masayuki Ogawa, mengatakan bahwa hal ini karena cadangan tersebut digunakan untuk “beras campuran” dan bukan untuk beras bermerek dari varietas atau daerah tertentu yang lebih populer.
“Dalam hal harga rata-rata, harga beras bermerek naik cukup signifikan hingga mengimbangi efek dari beras cadangan yang menekan harga rata-rata. Hal ini membuat harga eceran di supermarket tetap tinggi meskipun ada pelepasan cadangan,” jelas Ogawa kepada AFP.