Ketua Divisi Advokasi Ikatan Perawat Muslim Indonesia (IPMI) Jepang Ahmad Naeni Nahwul Umam berbagi perjalanan kariernya sebagai perawat lansia di Jepang selama 11 tahun.
Kini, ia menjabat sebagai leader atau kepala ruangan di fasilitas perawatan lansia di Jepang.
Ahmad bekerja sebagai perawat lansia melalui Program Careworker (Kaigofukushishi) G to G Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).
Sebelum berangkat ke Jepang, ia mengikuti pelatihan bahasa Jepang di Indonesia selama enam bulan.
Setibanya di Jepang, ia juga diwajibkan menjalani pelatihan keterampilan selama enam bulan agar bisa bekerja sebagai perawat lansia.
Meski sudah bekerja, Ahmad masih harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan pengakuan resmi sebagai perawat di Jepang.
Dari ujian tersebut, ia akhirnya memperoleh lisensi sebagai perawat.
Uji kompetensi ini dikenal sebagai 介護福祉士国家試験 (kaigofukushishi kokka shiken).
“Saya bekerja selama tiga tahun dulu di sini, kemudian mengikuti uji kompetensi atau ujian nasional di Jepang gitu. Setelah saya lulus ujian nasional baru saya dianggap sebagai perawat kayak yang lain,” ujar Ahmad saat dihubungi Ohayo Jepang, Senin (17/3/2025).
Sertifikat kelulusan uji kompetensi ini sangat penting untuk mendapatkan tunjangan lisensi, tunjangan keluarga, hingga tunjangan anak.
Bukan hanya itu, lisensi pekerja perawat ini juga menjadi parameter untuk menjadi pekerja tetap di Jepang.
“Jadi mendapat lisensi di Jepang itu kita sudah bisa menjadi pekerja tetap di sini. Jadi sampai umur pensiun saya bisa bekerja di Jepang,” katanya.
Ahmad juga mengungkapkan bahwa pada tahap awal, perawat lansia di Jepang dapat menerima gaji bersih sekitar Rp 14 juta hingga Rp 15 juta.
Baca juga:
Saat pertama kali bekerja sebagai perawat lansia di Jepang, Ahmad tidak hanya diharuskan menguasai bahasa Jepang.
Ia juga harus memahami istilah medis yang berkaitan dengan penyakit dan obat-obatan.
“Kalau misalnya kita dulu kuliah di Indonesia, kita menggunakan nama-nama penyakit biasanya sebagian besar menggunakan bahasa latin ataupun bahasa Inggris, tapi di sini menggunakan bahasa Jepang,” ujar Ahmad.
Selain hal bahasa, Ahmad juga menyadari adanya perbedaan budaya kerja di Jepang terkait profesionalisme.
Di sana, perawat sangat menjunjung tinggi profesionalisme dan fokus pada pemberian layanan terbaik sesuai dengan tugas dan tanggung jawab mereka.
“Antara perawat dan pasien kayak semacam keluarga gitu ya, kalau sudah terlalu dekat. Tapi kalau misalnya di Jepang sendiri itu kita enggak bisa seperti itu. Kita harus profesional,” jelasnya.
Ahmad memberi pesan kepada perawat Indonesia yang berniat bekerja di Jepang untuk tetap mempertahankan nilai-nilai tersebut.
Ahmad menjelaskan, banyak prosedur kesehatan di Jepang yang mengadopsi teknologi canggih.
Para perawat di Jepang dituntut untuk mampu mengoperasikan berbagai layanan berbasis teknologi tersebut.
“Kami di sini berbasis digital. Jadi semuanya sudah sistem online. Misal saya klik di ruangan saya di ruang 4A, saya masukin data di situ. Jadi seluruh ruangan yang ada di gedung saya itu sudah bisa melihat Itu untuk pencatatannya,” ujar Ahmad saat dihubungi Ohayo Jepang, Senin (17/3/2025).
Teknologi juga digunakan untuk membantu pemindahan dan pengangkatan pasien, bernama sukairifuto.
Semua peralatan pendukung dalam sistem kerja keperawatan dioperasikan secara otomatis.
“Kita sudah tidak menggunakan badan kita sendiri untuk mengangkat pasien tapi kita sudah ada alat untuk mengangkat badan pasien, untuk memindahkan dari bed 1 ke bed lainnya,” katanya.
Selain penerapan teknologi yang semakin canggih untuk mendukung pekerjaan perawat, faktor kebersihan juga mendapat perhatian besar di rumah sakit maupun fasilitas perawatan lansia.
“Kebersihan dan kerapian saya pikir kita perlu mencontoh dan meniru budaya di sini,” ungkap Ahmad.
Setiap fasilitas layanan kesehatan di Jepang sudah terstandarisasi dalam hal kebersihan dan kerapihan.
Ahmad juga menjelaskan bahwa di Jepang, kebersihan telah menjadi bagian dari budaya yang sangat dijunjung tinggi.
Selama bekerja, Ahmad mengungkapkan tidak pernah ada perbedaan perlakuan antara perawat asing dengan perawat orang Jepang.
Hal ini juga berlaku pada kesempatan jenjang kenaikan karier.
“Memang untuk karier sendiri kami tidak dibatasi. Selagi kami mampu kami dikasih kesempatan seluas-luasnya,” ungkap Ahmad
Saat ini, ia juga aktif menjadi pembicara di seminar mewakili perusahaannya dan diberikan kesempatan luas oleh perusahaan untuk mengembangkan kariernya.
(KOMPAS.COM/FAESAL MUBAROK)
View this post on Instagram