Ohayo Jepang
Powered by

Share this page

Worklife

Puasa Sambil Kerja di Jepang, Terbiasa dengan Pertanyaan Rekan Kerja

Kompas.com - 05/03/2025, 17:00 WIB

Menjalani puasa di Jepang sambil bekerja memberikan pengalaman yang berbeda, terutama bagi seorang pendatang.

Tidak ada kebijakan khusus bagi Muslim yang berpuasa, jam kerja tetap berjalan normal, dan lingkungan sekitar tidak terbiasa dengan Ramadhan.

Aya, seorang Muslim yang sudah enam tahun tinggal dan bekerja di Jepang, membagikan pengalamannya menjalani puasa sambil beradaptasi dengan suasana Ramadhan di sana.

Pengalaman Puasa Pertama di Jepang

Saat pertama kali menjalani Ramadhan di Jepang antara 2017 dan 2018, Aya masih berstatus pelajar di sekolah bahasa. 

Selain sekolah, ia juga bekerja paruh waktu sebagai loper koran pada pagi hari dan di restoran setelah sekolah.

Puasa pada tahun pertamanya terasa sangat berbeda dari Indonesia, terutama karena jadwal sahur yang sangat dini, sekitar pukul 02.30 pagi.

"Setelah sahur, mau tidur jadi nanggung," cerita Aya. 

Jika di Indonesia setelah Subuh orang langsung memulai aktivitas, di Jepang sekolah dan pekerjaan baru dimulai sekitar pukul 09.00 pagi. 

Di tahun pertamanya, Aya belum bergabung dengan komunitas Muslim.

Ia menjalani Ramadhan sendirian, tanpa ada suasana Ramadhan seperti di Indonesia.

"Aku buka puasa itu sudah di rumah setelah kerja, dan di restoran tempat kerja aku juga enggak bilang kalau aku lagi puasa," katanya.

Ia lebih sering mengandalkan makanan sederhana untuk sahur dan berbuka karena kesibukan dan minimnya waktu untuk memasak.

"Dulu masih sembarangan, sahur cuma makan onigiri atau roti, kadang ditambah susu," ungkapnya.

Baca juga:

Ilustrasi karyawan di Jepang berangkat kerja
Ilustrasi karyawan di Jepang berangkat kerja

Pertanyaan Teman Kerja soal Puasa dan Dukungan Atasan

Setelah menyelesaikan sekolah bahasanya, Aya mulai bekerja penuh waktu di Namegata, Prefektur Ibaraki.

Di tempat kerja barunya, ia menghadapi tantangan baru dalam menjalani puasa, terutama karena rekan kerjanya tidak familiar dengan Ramadhan.

Aya biasanya makan siang bersama rekan kerjanya.

Namun, selama puasa ia tak melakukannya sampai lambat laun mereka menyadari kebiasaannya tidak makan siang selama sebulan penuh. 

“Awalnya mereka tanya, ‘Kok enggak makan siang?’, lama-lama paham kalau aku lagi puasa,” katanya.

Setiap tahun, pertanyaan yang sama selalu muncul dari rekan kerja, terutama tentang larangan makan dan minum selama puasa.

"Setiap tahun pasti ada yang bertanya, ‘Serius, air juga enggak boleh?’ atau ‘Kenapa dihukum sama Tuhan?’," kata Aya sambil tertawa kecil.

Ia selalu berusaha menjelaskan bahwa puasa bukan hukuman, melainkan bagian dari ajaran Islam yang sudah biasa dilakukan sejak kecil.

Demi menjawab rasa penasaran mereka, ia pernah mengutip penelitian kesehatan dari ilmuwan Jepang tentang manfaat puasa bagi tubuh.

Di tempat kerja Aya, tidak ada kebijakan khusus bagi Muslim yang berpuasa, termasuk tidak adanya musala.

Namun, perusahaan memberikan fleksibilitas agar ia tetap bisa menjalankan ibadah.

"Aku bisa salat Zuhur saat istirahat makan siang selama satu jam. Selain itu, ada istirahat 10 menit sekitar jam tiga sore, ditambah 5 menit ekstra khusus untuk salat Ashar," jelasnya.

Tidak ada tempat khusus untuk salat, Aya akhirnya menggunakan ruang meeting yang bersih sebagai tempat ibadahnya.

Seiring waktu, bos dan rekan kerja Aya mulai memahami kebiasaannya saat Ramadhan.

Bosnya, yang sering bepergian ke luar negeri, akhirnya mulai mengerti setelah melihat program TV Jepang yang membahas Ramadhan.

Sejak saat itu, setiap tahun bosnya selalu mengucapkan "Selamat Ramadhan" kepadanya.

Bahkan, ada satu momen yang membuat Aya merasa sangat dihargai.

Suatu hari, ada tamu yang datang ke kantor. Seperti biasa, kopi disajikan sebagai bagian dari jamuan, tetapi Aya tidak minum.

Bosnya langsung memberi tahu tamu tersebut, "Aya sedang puasa Ramadhan."

Bagi Aya, hal itu mungkin tampak sederhana, tetapi sebagai seseorang yang menjalani puasa di lingkungan yang berbeda, momen itu terasa sangat berarti.

Bahkan, ibu dari bosnya pernah memberikan makanan kepadanya untuk berbuka puasa, sesuatu yang membuatnya semakin terharu dan merasa dihargai.

Ilustrasi Muslim berbuka puasa.
Ilustrasi Muslim berbuka puasa.

Adaptasi dan Strategi Menjalani Puasa di Jepang

Selain tantangan di tempat kerja, Aya juga pernah menjalani puasa saat akhir musim semi menuju musim panas.

Ramadhan saat itu jatuh pada Mei hingga Juni, yang berarti sudah memasuki musim panas tetapi belum mencapai puncaknya.

"Aku baru sadar pernah puasa di musim panas, tapi waktu itu belum yang paling ekstrem," katanya.

Menurutnya, ia juga terbiasa puasa sunnah saat musim panas sehingga sudah terbiasa.

Sementara itu, terkait menu buka puasa, Aya selalu menyiapkan stok makanan sebelum Ramadhan tiba. 

Ia membeli makanan Indonesia dalam bentuk frozen dari orang Indonesia di Jepang, sehingga selama Ramadhan ia tidak perlu memasak setiap hari.

Menu sahur pun ia memilih makanan yang praktis, seperti oatmeal atau yoghurt yang sudah disiapkan malam sebelumnya, agar lebih hemat waktu. 

          View this post on Instagram                      

A post shared by Ohayo Jepang (@ohayo_jepang)

Halaman:
Editor : YUHARRANI AISYAH

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
 
Pilihan Untukmu
Close Ads

Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.