Jepang saat ini menghadapi krisis beras yang dipicu oleh berbagai faktor, seperti cuaca ekstrem, panen yang buruk, serta panic buying yang dipicu oleh peringatan megaquake.
Menurut kantor berita AFP pada Jumat (14/2/2025), harga beras hampir dua kali lipat dalam satu tahun terakhir.
Menurut survei pemerintah, harga beras per lima kilogram mencapai 3.688 yen pada akhir Januari 2025, naik dari 2.023 yen daripada tahun sebelumnya.
Lonjakan harga beras terutama disebabkan oleh cuaca panas ekstrem pada 2023 yang tercatat sebagai musim panas terpanas.
Kondisi ini berdampak pada hasil panen yang lebih rendah dari biasanya.
Selain itu, peringatan mengenai potensi gempa besar mendorong masyarakat untuk melakukan aksi borong (panic buying).
Akibatnya, rak supermarket kosong terutama setelah libur panjang dan serangkaian topan pada Agustus lalu.
Pemerintah awalnya berharap harga beras akan stabil setelah panen baru tiba di pasaran. Namun, inflasi tetap terjadi akibat aksi penimbunan stok oleh beberapa distributor.
"Diduga ada distributor yang mencoba mencari keuntungan dengan menunggu kenaikan harga," ujar Masayuki Ogawa, asisten profesor di Universitas Utsunomiya.
Kenaikan harga ini berdampak langsung pada pola konsumsi masyarakat Jepang.
Seorang warga Tokyo, Eriko Kato, mengatakan bahwa ia tetap membeli beras sesekali, tetapi sering membatalkan niatnya setelah melihat harga yang tinggi.
"Saya masih membeli beras sesekali, tetapi karena sangat mahal, terkadang saya menyerah setelah melihat harganya," kata Kato.
Banyak orang beralih ke makanan lain seperti mi udon atau soba untuk menghemat pengeluaran.
Namun, meskipun harga terus naik, beras tetap memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Jepang.
"Beras adalah makanan untuk jiwa kita. Ini sangat penting," ujar Kato.
Baca juga:
Sebagai upaya menstabilkan harga dan pasokan beras, Menteri Pertanian Jepang Taku Eto, mengumumkan pengeluaran 210.000 ton beras dari total cadangan satu juta ton.
"Saya harap Anda melihat ini sebagai bentuk ketegasan kami untuk memperbaiki situasi di mana distribusi tertunda dan terhambat dengan segala cara," ujar Eto.
Jepang memiliki sistem cadangan beras yang telah diterapkan sejak 1995 sebagai respons terhadap kegagalan panen besar pada 1993.
Sistem ini biasanya digunakan untuk menghadapi bencana, tetapi ini adalah pertama kalinya cadangan dilepas akibat gangguan distribusi.
Meskipun pelepasan cadangan dapat membantu menstabilkan harga dan meningkatkan pasokan, kebijakan ini memiliki dampak jangka panjang yang perlu diperhitungkan.
Menurut Ogawa, operasi ini cukup kompleks karena dapat memengaruhi stabilitas produksi dan pendapatan petani.
Pemerintah diwajibkan membeli kembali jumlah beras yang sama dalam waktu satu tahun setelah pelepasan cadangan ini untuk mencegah distorsi pasar.
Di sisi lain, jika distributor yang menimbun stok mulai melepaskan persediaannya setelah intervensi pemerintah, harga beras berpotensi kembali stabil lebih cepat.
Krisis beras di Jepang ini menunjukkan bagaimana faktor lingkungan, distribusi, dan kebijakan ekonomi dapat memengaruhi harga pangan.
Konsumsi beras di Jepang berkurang lebih dari setengahnya dalam 60 tahun terakhir menjadi sekitar 50,9 kilogram pada 2022.
Namun, beras tetap menjadi makanan pokok yang memiliki peran penting dalam budaya dan kehidupan masyarakat.
View this post on Instagram