Budaya kerja di Jepang dikenal dengan kedisiplinan dan fokus tinggi selama jam kerja.
Jam kerja yang ketat dan kebijakan lembur yang terukur menjadi ciri khas dunia kerja di Jepang.
Ada pengalaman menarik dari seorang pekerja Indonesia tentang bagaimana ia tetap menjalankan ibadah di tengah budaya kerja yang sibuk ini.
Simak kisah Aya yang sedang menjalani tahun ke-7 bekerja di Prefektur Ibaraki, Jepang.
Baca juga:
Aya yang bekerja sebagai marketing di perusahaan manufaktur ini bekerja setiap Senin sampai Jumat, layaknya pekerja tetap di Jepang.
Jam kerja di tempat Aya bekerja diterapkan dengan ketat. Pekerja memulai aktivitas pada pukul 08.00 dan selesai pukul 17.00 dengan waktu istirahat satu jam, termasuk Aya.
“Jam kerjaku itu 8 jam kerja dan 1 jam istirahat. Aku tim tenggo (Bahasa gaul Indonesia artinya pulang tepat waktu). Sudah jam 5 sore ya aku pulang," ujar Aya.
Pasalnya, budaya kerja di Jepang sangat menekankan produktivitas selama jam kerja.
“Bosku selalu mendorong kami untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Setelah pekerja pulang, listrik di kantor dimatikan untuk mengurangi menghemat energi,” kata Aya.
Selain itu, karyawan tidak menggunakan ponsel atau melakukan aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.
“Di sini, HP biasanya ditinggal di loker selama jam kerja. Kalau ada telepon penting, misalnya anak sakit, sekolah akan langsung menghubungi perusahaan, bukan ke ponsel orang tua,” jelasnya.
Dengan tidak adanya distraksi, pekerja dapat fokus menyelesaikan tugas mereka tepat waktu.
Meski budaya kerja Jepang sangat disiplin, Aya yang seorang Muslim, tetap dapat menjalankan ibadahnya di kantor.
Perusahaan memberikan fleksibilitas bagi Aya untuk tetap bisa salat tanpa mengabaikan pekerjaan.
“Aku punya waktu istirahat selama satu jam pas jam 12 siang, biasanya aku manfaatkan untuk salat Zuhur. Selain itu, ada istirahat singkat 10 menit sekitar jam tiga sore. Aku diberi istirahat tambahan 5 menit khusus untuk salat Ashar,” papar Aya.
Tidak ada musala di perusahaan Aya, ia biasanya menjalankan salat di ruang meeting yang memang bersih.
Meskipun budaya kerja Jepang sangat ketat, ada ruang untuk fleksibilitas bagi karyawan asing yang memiliki kebutuhan khusus seperti beribadah.
Walau tentu, hal ini bisa juga berbeda sesuai kebijakan masing-masing perusahaan.
Menurut pengalaman Aya, lembur bukan sesuatu yang lumrah di perusahaannya. Semua pekerjaan memang sudah diselesaikan selama jam kerja.
Lembur di Jepang pun tidak sembarangan karena ada aturan tersendiri dari pemerintah. Perusahaan wajib memberi upah lembur sesuai dengan jam lembur karyawan itu.
Pernah ada pengalaman tentang salah satu karyawan di perusahaannya yang beberapa kali lembur karena memang ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
"Bosku sampai bilang itu udah habis jatah lemburnya. 'Ayok sana kamu ambil cuti' gitu. Soalnya ternyata teman kerjaku itu nggak pernah ambil cuti juga," kata Aya.
Bos Aya memang menerapkan efisiensi kerja selain dari memaksimalkan jam kerja, juga memanfaatkan cuti.
Hal itu juga menciptakan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Dengan kerja yang terstruktur, karyawan dapat memanfaatkan waktu di luar pekerjaan untuk beristirahat atau berkumpul dengan keluarga.
Kamu bisa membaca aturan lembur di Jepang pada tautan berikut.
Kedisiplinan di tempat kerja Jepang tidak hanya ditunjukkan dalam hal jam kerja, tetapi juga dalam etika kerja sehari-hari.
Tidak ada toleransi untuk perilaku yang mengganggu produktivitas, seperti menonton video atau mengobrol di luar konteks pekerjaan.
“Aku pernah melihat perbedaan besar saat pulang ke Indonesia. Beberapa teman di kantor Indonesia pernah cerita mereka bisa menonton video di jam kerja. Di Jepang, hal seperti ini tidak mungkin terjadi,” ungkap Aya sembari tertawa kecil.
Jam kerja dan kebijakan lembur di Jepang mencerminkan budaya efisiensi dan disiplin tinggi.
Mereka juga dianjurkan untuk pulang tepat waktu dan mengambil hak cuti biar work-life balance.
View this post on Instagram