“Saya punya beberapa harapan. Saya ingin membantu adik saya mendapatkan pendidikan yang lebih baik, dan setelah itu saya ingin menabung untuk membuka usaha. Soal kekhawatiran, saya hanya khawatir soal makanan halal. Tapi saya tahu, itu bisa saya atasi dengan memasak sendiri,” ujar Ifah, tersenyum.
Tentu saja, meninggalkan keluarga tidak mudah, tetapi Ifah punya cara tersendiri untuk menghadapi perasaan tersebut.
“Sebenarnya saya nggak terlalu merasa cemas karena saya pergi ke LPK dua minggu sebelum berangkat. Kalau untuk keluarga, saya lebih memilih untuk menangis sendiri saja. Saya tipe yang tidak suka melihat orang lain menangis. Jadi, saya menghabiskan lebih banyak waktu di rumah bersama keluarga, makan bareng,” ungkapnya dengan tawa kecil.
Salah satu tantangan besar ketika bekerja di luar negeri adalah menjaga hubungan dengan keluarga, apalagi dengan perbedaan zona waktu yang cukup jauh.
Ifah pun berusaha tetap terhubung dengan keluarganya meskipun sedang sibuk mempersiapkan diri di Jepang.
“Tentu saja saya kangen keluarga. Jadi, saya sering melakukan video call. Awalnya hampir setiap hari, tapi ketika sudah mulai sibuk, jadi dua kali seminggu. Biasanya saya yang memberi tahu kapan saya punya waktu libur di minggu depan, supaya keluarga bisa menyesuaikan jadwal untuk menelepon,” jelas Ifah.
Usahanya untuk tetap terhubung dengan keluarga menunjukkan bahwa meskipun berada jauh di luar negeri, ikatan keluarga tetap menjadi hal yang sangat penting dalam menjalani kehidupan di luar negeri.
Seiring Ifah mempersiapkan diri untuk memulai babak baru dalam hidupnya, perjalanan ini baru saja dimulai.
Proses pengurusan dokumen, packing, dan tantangan emosional adalah langkah pertama menuju kehidupan yang lebih baik di Jepang.
“Saya tahu itu nggak akan mudah. Bahasa, budaya, dan rutinitas sehari-hari yang berbeda pasti menjadi tantangan. Tapi saya siap menghadapi itu,” ujar Ifah dengan suara penuh keyakinan.