OHAYOJEPANG - Saya tumbuh di Indonesia dan merasa sudah paham bagaimana bereaksi saat bencana datang.
Setelah pindah ke Jepang, pandangan itu berubah sepenuhnya.
Titik balik terjadi ketika saya ikut latihan simulasi bencana di Honjo Bousaikan, Tokyo, bersama staf asing lainnya.
Pelatihan tersebut membuat saya sadar bahwa selama ini saya belum benar-benar siap menghadapi situasi darurat.
Di Honjo Bousaikan, kegiatan dimulai dengan menonton film edukasi dan belajar mengenali tanda keselamatan.
Setelah itu, peserta diajak mencoba simulasi realistis untuk gempa bumi, banjir, topan, dan kebakaran.
Beberapa materi edukasi juga tersedia dalam bentuk video online berbahasa Jepang yang bisa diakses publik.
Baca juga:
Simulasi yang saya jalani memberi banyak kejutan.
Salah satunya adalah ketika mencoba membuka pintu melawan tekanan air banjir setinggi 20 sentimeter.
Usaha itu jauh lebih sulit dari yang saya bayangkan.
Pengalaman berikutnya adalah merasakan gempa Shindo 7 dengan guncangan yang sangat keras.
Bahkan, posisi “dangomushi” (posisi tubuh anak-anak saat latihan gempa) pun sulit saya pertahankan.
Dari pengalaman tersebut, saya sadar betapa banyak hal yang belum saya ketahui tentang bencana.
Latihan ini benar-benar membuka mata saya akan risiko nyata yang mungkin terjadi.
Simulasi gempa mengajarkan perbedaan besar antara Indonesia dan Jepang.
Di Indonesia, refleks banyak orang adalah panik dan berlari keluar karena bangunan sering tidak tahan gempa.
Di Jepang, protokol justru menyarankan tetap di dalam dan berlindung di bawah meja kokoh, dengan keyakinan pada struktur bangunan yang tahan guncangan.
Pengalaman banjir juga mengubah persepsi saya.
Jika di Indonesia banjir identik dengan air kotor, di Jepang bahaya utama justru lubang got dalam yang tersembunyi.
Peserta diajarkan menggunakan tongkat panjang untuk memeriksa jalan agar tidak terperosok.
Latihan membuka pintu yang terhalang air membuat risiko itu terasa sangat nyata.
Simulasi topan juga memberikan perspektif baru.
Di Indonesia, angin kencang jarang menimbulkan kerusakan besar dan sulit diprediksi.
Di Jepang, topan bisa membawa angin hingga 60 km/jam, namun jalurnya relatif mudah diperkirakan.
Kamu bisa memantau prakiraan cuaca lebih awal untuk mempersiapkan diri menghadapi dampaknya.
Pada latihan kebakaran, saya belajar bahwa bahaya utama bukan selalu api.
Asap tebal dan beracun dapat membuat pernapasan mustahil hanya dalam hitungan menit.
Meski apartemen modern di Indonesia juga dilengkapi alarm kebakaran, pelajaran tentang bahaya asap adalah hal baru bagi saya.
Latihan ini membuat saya memahami bahwa pencegahan bencana di Jepang bukan sekadar aturan.
Kesiapsiagaan sudah menjadi pola pikir yang melekat dalam kehidupan sehari-hari.
Filosofi ini dirangkum dalam empat prinsip utama.
Yobou berarti pencegahan, junbi adalah persiapan, chiimuwaaku menekankan kerja sama, dan jishuku berarti disiplin diri.
Keempat prinsip ini menjadi landasan masyarakat Jepang dalam menghadapi bencana.
Perubahan cara pandang ini mengajarkan pentingnya fokus pada antisipasi, bukan sekadar reaksi setelah bencana.
Ikut latihan bencana di Honjo Bousaikan benar-benar mengubah sikap saya terhadap keselamatan.
Dari yang awalnya merasa biasa saja, kini saya lebih menghargai setiap usaha pencegahan.
Latihan ini bukan hanya memberi keterampilan, tetapi juga membentuk cara pandang baru tentang bencana.
Kesiapsiagaan bukan lagi sesuatu yang abstrak, melainkan hal nyata yang harus disiapkan.
Pengalaman ini membuat saya lebih percaya diri untuk melindungi diri dan orang-orang di sekitar.
Penulis: Nana, WNI yang tinggal di Jepang. Ia suka cokelat dan momen tenang yang nyaman, tapi sering juga ditemani pikiran larut malam (Karaksa Media Partner/Agustus 2025)
View this post on Instagram