Ohayo Jepang
Powered by

Share this page

Budaya Lokal

Jejak Bom Atom dalam Budaya Populer Jepang, Dari Godzilla hingga Anime

Kompas.com - 04/08/2025, 16:22 WIB

Dampak pengeboman nuklir Hiroshima dan Nagasaki pada 1945 masih terasa kuat dalam budaya populer Jepang hingga hari ini.

Melansir kantor berita AFP (4/8/2025), jejak trauma nasional itu terus hidup dalam berbagai bentuk seni dan cerita dari napas api Godzilla hingga anime pasca-apokaliptik seperti Attack on Titan.

Selama delapan dekade terakhir, narasi kehancuran, mutasi, dan ketakutan terhadap bencana alam berpadu dalam imajinasi kolektif Jepang.

Hal itu ditambah krisis nuklir Fukushima yang terjadi pada 2011.

Baca juga:

Patung Astro Boy di atap paviliun Pasona Nature Event, bagian dari Expo 2025 Osaka.
Patung Astro Boy di atap paviliun Pasona Nature Event, bagian dari Expo 2025 Osaka.

Trauma Nuklir dalam Anime dan Manga

Anime klasik Astro Boy yang dikenal di Jepang sebagai Mighty Atom, mencerminkan ketertarikan Jepang terhadap tema nuklir sejak awal.

Begitu pula dengan Akira, Neon Genesis Evangelion, dan Attack on Titan yang menghadirkan ledakan besar yang menghancurkan kota dan menggambarkan rasa takut serta kehilangan.

William Tsutsui, profesor sejarah dari Universitas Ottawa, menyebut bahwa tema “menjalani rasa sakit yang luar biasa” menjadi daya tarik budaya Jepang bagi penonton global.

Menurutnya, trauma kolektif akibat bom atom telah membentuk cara Jepang memaknai bencana dan kekuatan destruktif dalam karya seni mereka.

Sastra dan Seni: Antara Langsung dan Simbolik

Penulis Yoko Tawada mengungkap bahwa puisi tentang bom atom kadang menggambarkan teror secara langsung.

Namun, banyak novel dan karya seni memilih pendekatan tidak langsung karena sulitnya menampung pengalaman yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia.

Dalam novelnya The Emissary (2014), Tawada mengeksplorasi kondisi setelah sebuah bencana besar yang tak disebutkan secara eksplisit.

Kisah ini terinspirasi oleh hubungan antara bom atom, bencana nuklir Fukushima, dan penyakit Minamata, keracunan merkuri massal akibat polusi industri pada 1950-an.

Bagi Tawada, kisah tersebut bukan peringatan, melainkan pesan harapan bahwa keadaan bisa memburuk, tetapi akan menemukan cara untuk bertahan.

Proyeksi mapping TOKYO GODZILLAs di Tokyo.
Proyeksi mapping TOKYO GODZILLAs di Tokyo.

Wujud Ketakutan dalam Bentuk Godzilla

Salah satu simbol paling ikonik dari kecemasan nuklir Jepang adalah Godzilla.

Makhluk prasejarah ini digambarkan bangkit akibat uji coba bom hidrogen Amerika Serikat di Pasifik.

Menurut Tsutsui, monster seperti Godzilla diperlukan “untuk memberi wajah dan bentuk bagi ketakutan abstrak”—dalam hal ini, energi atom dan radiasi.

Film Godzilla pertama pada 1954 bahkan membuat banyak penonton menangis di bioskop.

Diketahui pula bahwa kulit Godzilla dirancang menyerupai jaringan parut keloid pada para penyintas bom Hiroshima dan Nagasaki.

Meskipun tema nuklir menjadi latar belakang utama di awal, film-film selanjutnya mulai mengurangi sorotan terhadap isu tersebut agar lebih dapat diterima oleh penonton internasional, terutama dari Amerika.

Namun, tema itu tetap hidup, seperti dalam Shin Godzilla (2016) yang dipandang sebagai kritik terhadap respons pemerintah Jepang terhadap bencana Fukushima.

Sastra Hiroshima dan Perdebatan Representasi

Novel Black Rain karya Masuji Ibuse, yang terbit pada 1965, menggambarkan penderitaan akibat penyakit radiasi dan diskriminasi terhadap korban bom atom.

Namun, karena Ibuse bukan penyintas langsung, muncul perdebatan tentang siapa yang berhak menulis kisah tersebut.

Victoria Young dari Universitas Cambridge menyoroti tantangan dalam mengangkat pengalaman nyata menjadi sastra.

“Apakah seseorang boleh menulis tentangnya jika tidak mengalami langsung?” ujarnya.

Kenzaburo Oe, penulis peraih Nobel Sastra, menulis Hiroshima Notes setelah mengunjungi kota tersebut pada 1960-an.

Kumpulan esai ini berisi catatan pribadi Oe, termasuk refleksinya sebagai ayah dari anak difabel, yang menjadi cara dirinya memahami trauma dan kenyataan bom atom.

Tawada menambahkan bahwa pendidikan anti-perang yang ia terima di masa kecil cenderung menggambarkan Jepang hanya sebagai korban Perang Dunia II.

Namun, menurutnya penting untuk melihat gambaran yang lebih luas, termasuk kekejaman perang yang dilakukan Jepang sendiri.

Gambar Neraka dan Pertanyaan tentang Peradaban

Sebagai anak-anak, Tawada mengaku bahwa ilustrasi tentang pengeboman nuklir dalam buku bergambar mengingatkannya pada lukisan neraka dalam seni tradisional Jepang.

Pengalaman visual itu membentuk pemikiran bahwa peradaban manusia menyimpan bahaya laten.

Bom atom, baginya, bukan sekadar produk kemajuan teknologi, melainkan sesuatu yang mencerminkan sisi tergelap dalam diri manusia itu sendiri.

          View this post on Instagram                      

A post shared by Ohayo Jepang (@ohayo_jepang)

Halaman:
Editor : YUHARRANI AISYAH

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
 
Pilihan Untukmu
Close Ads

Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.