Diketahui pula bahwa kulit Godzilla dirancang menyerupai jaringan parut keloid pada para penyintas bom Hiroshima dan Nagasaki.
Meskipun tema nuklir menjadi latar belakang utama di awal, film-film selanjutnya mulai mengurangi sorotan terhadap isu tersebut agar lebih dapat diterima oleh penonton internasional, terutama dari Amerika.
Namun, tema itu tetap hidup, seperti dalam Shin Godzilla (2016) yang dipandang sebagai kritik terhadap respons pemerintah Jepang terhadap bencana Fukushima.
Novel Black Rain karya Masuji Ibuse, yang terbit pada 1965, menggambarkan penderitaan akibat penyakit radiasi dan diskriminasi terhadap korban bom atom.
Namun, karena Ibuse bukan penyintas langsung, muncul perdebatan tentang siapa yang berhak menulis kisah tersebut.
Victoria Young dari Universitas Cambridge menyoroti tantangan dalam mengangkat pengalaman nyata menjadi sastra.
“Apakah seseorang boleh menulis tentangnya jika tidak mengalami langsung?” ujarnya.
Kenzaburo Oe, penulis peraih Nobel Sastra, menulis Hiroshima Notes setelah mengunjungi kota tersebut pada 1960-an.
Kumpulan esai ini berisi catatan pribadi Oe, termasuk refleksinya sebagai ayah dari anak difabel, yang menjadi cara dirinya memahami trauma dan kenyataan bom atom.
Tawada menambahkan bahwa pendidikan anti-perang yang ia terima di masa kecil cenderung menggambarkan Jepang hanya sebagai korban Perang Dunia II.
Namun, menurutnya penting untuk melihat gambaran yang lebih luas, termasuk kekejaman perang yang dilakukan Jepang sendiri.
Sebagai anak-anak, Tawada mengaku bahwa ilustrasi tentang pengeboman nuklir dalam buku bergambar mengingatkannya pada lukisan neraka dalam seni tradisional Jepang.
Pengalaman visual itu membentuk pemikiran bahwa peradaban manusia menyimpan bahaya laten.
Bom atom, baginya, bukan sekadar produk kemajuan teknologi, melainkan sesuatu yang mencerminkan sisi tergelap dalam diri manusia itu sendiri.
View this post on Instagram