Setiap tahun, ribuan warga Indonesia mengambil langkah berani untuk mengejar masa depan yang lebih baik dengan bekerja di luar negeri.
Jepang menjadi salah satu tujuan utama, khususnya untuk pekerjaan di sektor lapangan.
Bagi banyak orang, bergabung sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Jepang melalui jalur resmi pemerintah dianggap sebagai pilihan yang paling aman dan terstruktur.
Namun di balik janji penghasilan stabil dan kesempatan bekerja di luar negeri, terdapat proses panjang yang menuntut ketekunan.
Mulai dari seleksi ketat, pelatihan intensif, hingga kenyataan pekerjaan fisik berat dalam budaya yang sangat berbeda dari Indonesia.
Artikel ini mengulas lebih dekat perjalanan tersebut.
Mulai dari proses pendaftaran dan seleksi hingga adaptasi hidup dan kerja di Jepang, serta tantangan umum yang banyak dialami oleh para PMI.
Baca juga:
Program pengiriman PMI ke Jepang dikelola oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) bekerja sama dengan lembaga-lembaga di Jepang seperti Japan International Training Cooperation Organization (JITCO) dan Immigration Services Agency of Japan.
Sistem ini dirancang untuk melindungi pekerja dari praktik perekrutan ilegal serta menjamin kondisi kerja yang adil dan terstruktur.
Calon PMI yang ingin bekerja di Jepang melalui jalur resmi harus mendaftar melalui sistem BP2MI.
Tahapan ini mencakup pengumpulan dokumen identitas, surat keterangan sehat, riwayat pendidikan, dan persyaratan lainnya.
Salah satu tantangan umum adalah banyaknya dokumen yang harus dilengkapi serta ketatnya pemeriksaan kelayakan, yang kerap membuat bingung para pendaftar baru.
Kemampuan bahasa menjadi tantangan besar. Untuk skema SSW (Specified Skilled Worker), calon PMI harus lulus ujian bahasa Jepang JFT-Basic dan Ujian Evaluasi Keterampilan (Ginou Shiken) sesuai bidang kerja.
Proses ini dapat memakan waktu beberapa bulan dan biasanya difasilitasi oleh lembaga pelatihan resmi.
Setelah lolos seleksi awal, kandidat akan mengikuti proses pencocokan atau wawancara dengan perusahaan Jepang, baik secara daring maupun langsung.
Pada tahap ini, kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Jepang, sikap, serta etika seperti cara membungkuk sangat memengaruhi hasil.
Banyak pelamar asal Indonesia mengaku gagal dalam wawancara karena kesalahan kecil seperti tidak membungkuk dengan benar atau tidak memahami pertanyaan.
Sebelum berangkat, PMI wajib mengikuti Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) yang berisi informasi seputar hak-hak pekerja, norma budaya, dan gambaran kehidupan di Jepang.
Setelah itu, proses pengurusan visa dilakukan melalui kerja sama antara BP2MI, Kedutaan Jepang, dan pihak perusahaan penerima.
Dari berbagai testimoni online, forum diskusi, dan laporan lembaga ketenagakerjaan, terdapat sejumlah tantangan berulang yang dialami PMI di Jepang:
Ekspektasi yang tidak realistis: Banyak yang beranggapan bahwa pekerjaan akan mudah atau gaji besar bisa langsung ditabung. Kenyataannya, pekerjaan fisik dan biaya hidup kerap tidak sebanding dengan harapan awal.
Utang sebelum keberangkatan: Meskipun jalur resmi mengurangi biaya penempatan, banyak PMI tetap harus meminjam uang untuk biaya pelatihan atau perjalanan.
Salah paham di tempat kerja: Tanpa pembekalan yang memadai, beberapa PMI merasa tugas kerja tidak sesuai dengan yang dijanjikan saat wawancara.
Tekanan mental: Rasa rindu kampung halaman, kejutan budaya, dan jam kerja panjang dapat menyebabkan kelelahan mental, apalagi jika tidak tersedia layanan kesehatan mental di tempat kerja.
Tantangan itu tidak hanya dialami oleh segelintir orang, tetapi merupakan pola umum yang terjadi lintas industri dan wilayah kerja di Jepang.
Meski prosesnya berat, banyak PMI berhasil menyelesaikan program kerjanya. Beberapa kembali ke Indonesia dengan keterampilan baru dan tabungan yang cukup untuk membuka usaha.
Ada pula yang melanjutkan ke jenis visa lanjutan, memperpanjang kontrak, bahkan mengajukan status tinggal permanen dalam kondisi tertentu, khususnya dalam skema SSW setelah lulus ujian lanjutan.
Selain itu, perusahaan Jepang kini semakin mengakui dedikasi PMI yang dikenal rajin, sopan, dan pekerja keras.
Citra positif ini mendorong perekrutan berkelanjutan dan peningkatan dukungan kelembagaan, seperti kelas bahasa tambahan dan fasilitas tempat tinggal yang lebih baik bagi PMI baru.
Perjalanan PMI di Jepang melalui jalur resmi merupakan proses yang panjang dan menantang.
Dari seleksi ketat hingga adaptasi budaya dan pekerjaan fisik, setiap tahapan membutuhkan kesiapan mental dan fisik.
Namun, di balik semua tantangan tersebut, jalur ini tetap menjadi peluang berharga bagi banyak warga Indonesia yang ingin memperbaiki hidup.
Calon pekerja akan lebih siap menghadapi proses kerja di Jepang jika mereka memahami tantangan yang nyata, bukan membayangkan hal-hal yang ideal.
Sumber:
Artikel ditulis oleh Karaksa Media Partner (Juli 2025)
View this post on Instagram