Bagi sebagian besar perusahaan dan institusi pendidikan di Jepang, pemeriksaan kesehatan merupakan hal wajib yang harus dijalani tak lama setelah kedatangan.
Prosesnya sederhana seperti mengukur tinggi dan berat badan, tes darah, menjawab beberapa pertanyaan seputar kesehatan, lalu pemeriksaan rontgen dada.
Namun bagi Masdica, seorang pekerja asal Indonesia yang baru dua hari mendarat di Jepang, pengalaman ini justru jadi momen yang cukup canggung.
Jet lag dan kesalahpahaman bahasa membuat segalanya terasa membingungkan.
Baca juga:
Saat tiba giliran pemeriksaan rontgen dada, teknisi dengan sopan berkata, “Please lift your shirt and put your chest on the panel… and take a breast.”
Apa yang Masdica dengar: “Take a breast…”
Apa yang dimaksud teknisi: “Take a breath.”
Masdica pun terdiam, panik dalam hati. Kalimat itu berulang kali diminta untuk diulang.
Sepuluh kali bertanya, “Sorry, could you say that again?” hanya membuat wajah sang teknisi semakin bingung dan lelah.
Sampai akhirnya, sebuah gerakan tangan yang menjelaskan maksud sebenarnya menyelamatkan keadaan. Masdica hanya diminta untuk menarik napas dalam, bukan yang lain.
Lega? Tentu. Malu? Sedikit. Tapi juga jadi pengalaman lucu yang tak terlupakan.
Beberapa faktor berikut bisa menjelaskan mengapa momen ini terjadi, terutama pada pendatang baru di Jepang:
Dalam aksen bahasa Inggris ala Jepang, bunyi vokal pendek pada kata breath ([breθ]) terdengar sangat mirip dengan breast ([brɛst]) terutama jika diucapkan cepat.
Selain itu, bahasa Jepang tidak mengenal konsonan rangkap seperti th, sehingga “breath” bisa terdengar seperti “buresuto” dari lidah penutur Jepang.
Jet lag ditambah lingkungan yang asing membuat otak bekerja ekstra. Dalam kondisi seperti ini, otak cenderung menangkap kata yang paling familier.
Maka, breath bisa saja otomatis terdengar sebagai breast oleh otak Masdica.
Dalam konteks medis di Jepang, banyak pasien merasa sungkan untuk menginterupsi atau meminta penjelasan ulang.
Akibatnya, kesalahpahaman bisa terjadi berulang sebelum ada yang berani bertanya atau mengonfirmasi maksud sebenarnya.
Pengalaman seperti ini menyimpan pelajaran penting:
Setiap pendatang baru di Jepang atau negara mana pun pasti punya cerita “oops” versi mereka sendiri.
Entah memesan makanan yang salah, membungkuk di saat yang tidak tepat, atau seperti Masdica, salah dengar instruksi medis.
Namun justru dari kejadian seperti inilah kita belajar tentang ritme bahasa, kebiasaan budaya, dan ketahanan diri.
Saat dikenang di kemudian hari, pengalaman ini bisa jadi bahan candaan ringan yang mencairkan suasana.
Jadi, jika suatu hari kamu diminta “take a breast”, tersenyumlah, pikirkan “take a breath”.
Kekeliruan budaya yang bisa ditertawakan nanti adalah bagian terbaik dari perjalanan itu sendiri.
Artikel ditulis oleh Karaksa Media Partner (Juli 2025)
View this post on Instagram