Sekarang, Rizki menularkan kebiasaan Horenso pada bawahannya, terutama staf baru dari Indonesia yang masih belum terbiasa dengan budaya kerja Jepang.
Ia masih harus melakukan micromanagement di tahap awal agar mereka benar-benar paham pentingnya inisiatif dan konsultasi, bukan sekadar menunggu perintah.
“Saya selalu bilang, setelah menyelesaikan tugas, segera kabari, lalu pikirkan langkah selanjutnya. Jangan tunggu disuruh. Kalau ada ide atau pertanyaan, konsultasikan dulu sebelum melangkah,” jelasnya.
Bagi Rizki, Horenso bukan sekadar alat komunikasi atau kontrol pekerjaan, melainkan bentuk perlindungan untuk bawahan.
Jika staf sudah rutin berkonsultasi sebelum bertindak, risiko kesalahan dibagi bersama atasan.
“Kalau sudah konsultasi tapi ternyata langkahnya salah, ya itu tanggung jawab atasan. Jadi, sebenarnya Horenso melindungi bawahan juga,” kata Rizki lagi.
Di lingkungan kerjanya, Horenso tidak cukup dilakukan dalam pertemuan mingguan.
Apalagi saat mengerjakan proyek besar, Horenso dilakukan setiap hari atau bahkan dua hari sekali.
Dengan cara ini, atasan bisa memantau progres dan beban kerja staf secara lebih adil.
Tidak ada staf yang mendapat beban terlalu berat sementara yang lain lebih ringan.
“Lewat Horenso, kita bisa lebih paham siapa yang sedang overload dan bisa minta atasan membagi pekerjaan ke staf lain,” tambahnya.
Proses membiasakan diri dengan Horenso memang tidak instan. Namun, menurut Rizki, semakin sering dilakukan, manfaatnya makin terasa.
Ia berharap para pekerja Indonesia di Jepang mau beradaptasi dan tidak takut melakukan konsultasi.
“Jangan takut mengajukan ide. Jangan takut dikira salah. Horenso itu bukan buat mencari kesalahan, tapi justru untuk melindungi dan memastikan pekerjaan berjalan sesuai tujuan bersama,” pungkas Rizki.
View this post on Instagram