Bagi banyak wanita Indonesia, bekerja di Jepang sebagai caregiver (kaigofukushishi atau perawat lansia) adalah sebuah peluang sekaligus tantangan.
Jepang menghadapi krisis tenaga kerja karena populasi lanjut usia yang terus meningkat.
Untuk mengatasi hal ini, Jepang membuka peluang bagi tenaga asing, termasuk dari Indonesia, melalui program seperti EPA (Economic Partnership Agreement) dan SSW (Specified Skilled Worker).
Namun, untuk bisa bekerja secara resmi di bidang ini, terdapat sejumlah syarat penting, mulai dari usia dan visa, hingga kesiapan mental dan kemampuan bahasa Jepang.
Baca juga:
Jepang adalah salah satu negara dengan populasi lansia tertinggi di dunia. Lebih dari 29 persen penduduknya berusia 65 tahun ke atas.
Diperkirakan angka ini akan naik hingga hampir 35 persen pada 2040.
Sejak 2008, Indonesia dan Jepang menjalin kerja sama dalam pengiriman perawat melalui program EPA.
Pada 2019, Jepang juga memperkenalkan program visa SSW untuk mempercepat masuknya caregiver dari luar negeri.
Keduanya menjadi jalur utama bagi pekerja Indonesia di bidang ini.
Tidak ada batas usia resmi dari pemerintah Jepang, tetapi kebanyakan LPK dan lembaga perekrutan menetapkan rentang usia ideal 18–35 tahun.
Ini karena pekerjaan caregiver membutuhkan kekuatan fisik, seperti membantu pasien berpindah tempat dan bekerja dalam shift panjang.
Pelamar juga harus lolos tes kesehatan dasar sebelum diberangkatkan.
Tiga jalur utama:
EPA (Economic Partnership Agreement):
Mengikuti pelatihan bahasa Jepang di Indonesia.
Dikirim ke Jepang untuk pelatihan dan magang kerja.
Harus lulus ujian nasional caregiver dalam waktu 3–4 tahun.
SSW (Specified Skilled Worker):
Lulus ujian keterampilan caregiving dan bahasa Jepang (minimal JLPT N4 atau JFT-Basic A2).
Visa berlaku hingga 5 tahun, bisa diperpanjang atau dialihkan ke visa jangka panjang.
Jalur Pelajar:
Masuk ke Jepang dengan visa pelajar (sekolah caregiving atau bahasa).
Setelah lulus, bisa mendaftar visa SSW atau EPA.
Caregiver harus bisa berkomunikasi dengan pasien dan staf medis. Standar minimum adalah:
SSW: JLPT N4 atau JFT-Basic A2.
EPA: Dilatih hingga setara N3 atau lebih tinggi.
Kesulitan umum yang dihadapi adalah penguasaan kosakata medis dan pemahaman dialek lokal di daerah kerja.
Selain kemampuan teknis, caregiver harus memiliki kesabaran dan empati tinggi. Pekerjaan ini menuntut kesiapan fisik dan mental.
Tantangan yang umum terjadi:
Rasa kesepian dan homesick.
Shock budaya dan perbedaan nilai kerja.
Bahasa menjadi hambatan dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa lembaga menyediakan dukungan psikologis, tetapi tidak semua tempat kerja memiliki sistem pendampingan yang memadai.
Pelamar tidak bisa hanya mengirim CV biasa. Umumnya, proses dilakukan melalui lembaga resmi seperti BP2MI atau LPK.
Dokumen yang harus disiapkan:
CV berbahasa Jepang.
Sertifikat pelatihan atau pendidikan.
Surat keterangan sehat.
Bukti kemampuan bahasa Jepang.
Dokumen visa dan kontrak kerja.
Wawancara dilakukan dalam bahasa Jepang dan biasanya juga menilai sikap, empati, dan kemampuan adaptasi budaya.
Bekerja sebagai caregiver di Jepang bukan sekadar pekerjaan, tetapi sebuah komitmen terhadap kemanusiaan lintas budaya.
Perjalanan ini menuntut kesiapan fisik, mental, serta kemampuan komunikasi yang kuat.
Namun bagi banyak perempuan Indonesia, ini adalah jalan untuk meraih masa depan yang lebih baik, sambil memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat Jepang yang menua.
Sumber:
Artikel ditulis oleh Karaksa Media Partner (Juni 2025)
View this post on Instagram