Perusahaan di Jepang sepakat menaikkan gaji rata-rata sebesar 5,25 persen, menjadi kenaikan tertinggi dalam 34 tahun terakhir.
Data ini dirilis Kamis (7/7/2025) oleh Rengo, serikat buruh terbesar di Jepang yang memiliki 7 juta anggota.
Kenaikan tahun ini melanjutkan tren positif selama tiga tahun berturut-turut, setelah sebelumnya naik 5,10 persen pada 2024 dan 3,58 persen pada 2023.
Melansir Reuters (3/7/2025), angka tersebut sangat kontras dengan periode sebelumnya yang ditandai stagnasi upah dalam jangka panjang.
Baca juga:
Kenaikan gaji yang konsisten ini tak lepas dari krisis tenaga kerja yang semakin parah di Jepang.
Negara dengan populasi menua ini mengalami kekurangan pekerja, terutama di sektor non-manufaktur dan perusahaan kecil.
Kondisi ini bahkan membuat sebagian usaha terpaksa gulung tikar.
Tekanan ini mendorong perusahaan untuk bersaing mempertahankan dan menarik pekerja dengan menaikkan gaji.
Survei Reuters yang dilakukan Januari lalu menunjukkan bahwa dua dari tiga perusahaan di Jepang merasa kekurangan tenaga kerja telah berdampak cukup serius terhadap operasional mereka.
Di tengah inflasi yang masih tinggi, para pekerja kini memiliki posisi tawar yang lebih kuat.
Seorang pejabat pemerintah yang tak disebutkan namanya menyebut, ada kesadaran baru di kalangan pelaku usaha bahwa kenaikan gaji di atas laju inflasi bukan lagi pilihan, melainkan sudah menjadi standar baru.
Saat ini, inflasi Jepang yang diukur dari indeks harga konsumen inti berada di sekitar 3,7 persen.
Harga bahan makanan segar juga terus naik, memengaruhi daya beli masyarakat.
Dalam situasi ini, kenaikan upah menjadi faktor penting untuk menjaga konsumsi, yang menjadi penopang utama pemulihan ekonomi Jepang.
Tak hanya gaji bulanan, bonus musim panas yang diberikan perusahaan besar juga mencetak rekor baru.
Keidanren, kelompok lobi bisnis terbesar di Jepang, melaporkan bahwa rata-rata bonus tahun ini naik 4,37 persen dibanding tahun lalu, mencapai 990.848 yen atau sekitar Rp 123,8 juta.
Lembaga riset Mizuho Research & Technologies memperkirakan tren kenaikan gaji ini masih akan berlanjut pada 2026.
Mereka memprediksi upah akan meningkat sekitar 4,7 persen, dengan asumsi harga minyak dunia melemah dan dampak tarif Amerika Serikat terhadap laba perusahaan dapat ditekan.
Saisuke Sakai, Kepala Ekonom Jepang di Mizuho Research, memperkirakan bahwa momentum kenaikan gaji akan semakin terlihat pada kuartal pertama tahun depan.
Ia juga memprediksi Bank of Japan akan mulai menaikkan suku bunga pada periode tersebut.
Pandangan ini sejalan dengan hasil survei Reuters, yang menunjukkan bahwa sebagian besar ekonom memperkirakan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin akan terjadi pada awal 2026.
Toru Suehiro, Kepala Ekonom Daiwa Securities, juga memperkirakan kenaikan gaji tahun depan akan berada di kisaran 4,5 hingga 4,9 persen.
Namun ia mencatat bahwa sektor non-manufaktur perlu mengambil peran lebih besar dalam mendorong kenaikan upah.
Pasalnya, sektor manufaktur kemungkinan akan terdampak oleh tarif perdagangan dari Amerika Serikat.
Menurutnya, selama ini pertumbuhan gaji banyak didorong oleh sektor manufaktur yang mendapat keuntungan dari pelemahan yen.
Namun ke depan, model tersebut perlu berubah agar pertumbuhan upah tetap berlanjut di tengah tekanan global.
Sementara itu, negosiasi dagang antara Jepang dan Amerika Serikat masih menemui hambatan.
Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif baru sebesar 30 hingga 35 persen terhadap produk impor dari Jepang.
Angka itu jauh di atas tarif 24 persen yang sempat diumumkan pada 2 April lalu dan masih ditangguhkan hingga 9 Juli.
View this post on Instagram