Tahun lalu, puncak bersalju khas Gunung Fuji baru muncul pada awal November, lebih lambat dari rata-rata yang biasanya terjadi pada awal Oktober.
Musim hujan di Jepang bagian barat baru saja berakhir minggu lalu. Ini tercatat sebagai waktu berakhirnya musim hujan paling awal, yakni sekitar tiga minggu lebih cepat dari biasanya.
Selain itu, Jepang juga mengalami berbagai bencana yang dipicu cuaca ekstrem.
Topan di musim panas kerap menyebabkan banjir besar.
Sementara itu, suhu tinggi ekstrem telah menimbulkan kasus heat stroke yang fatal, terutama di kalangan lanjut usia.
Di sisi lain, musim dingin yang semakin kering meningkatkan risiko kebakaran hutan.
Wilayah utara Ofunato, misalnya, mengalami kebakaran hutan terbesar dalam 30 tahun terakhir pada awal tahun ini.
Namun, tidak semua wilayah mengalami pengurangan curah hujan.
Beberapa daerah justru mencatatkan curah salju yang tinggi dan tidak biasa, menyebabkan kecelakaan fatal, gangguan lalu lintas, serta meningkatnya risiko longsoran salju.
Di tengah tantangan perubahan iklim, Jepang tetap bergantung pada bahan bakar fosil yang diimpor.
Hal ini menjadikan Jepang sebagai negara dengan campuran energi paling kotor di antara negara-negara G7.
Meski demikian, pemerintah Jepang telah menetapkan target pengurangan emisi karbon sebesar 60 persen pada 2035 dan 73 persen pada 2040 dibandingkan tingkat emisi tahun 2013.
Target jangka panjangnya adalah mencapai netralitas karbon pada 2050.
Langkah ini menjadi penting seiring meningkatnya kejadian cuaca ekstrem yang terus mengancam kehidupan masyarakat.
Jepang kini dihadapkan pada tantangan besar dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim yang semakin nyata dan kompleks.
View this post on Instagram