Berkarier di industri kecantikan Jepang bukan perkara mudah, apalagi bagi orang asing.
Itulah yang dirasakan Margaretta Dewi (36), perempuan asal Padang yang pernah bekerja selama lebih dari 13 tahun sebagai video creator di salah satu jaringan klinik kecantikan terbesar di Jepang.
Bekerja di kantor pusat perusahaan yang menangani promosi berbagai cabang klinik, Dewi memikul tanggung jawab besar.
Ia tak hanya memproduksi video, melainkan juga harus memahami budaya kerja Jepang, bahasa formal (keigo), dan bahkan aturan hukum promosi yang sangat ketat.
Baca juga:
Tantangan pertama yang dihadapi Dewi adalah bahasa, terutama keigo, yaitu bahasa formal Jepang yang wajib digunakan saat berinteraksi dengan atasan atau kolega senior.
Dalam konteks klinik yang menangani prosedur operasi plastik, penggunaan bahasa sangat penting, terlebih untuk menjelaskan prosedur medis kepada pasien atau bekerja sama dengan tim dokter.
Dewi mengakui bahwa dirinya belajar dari nol. Ia banyak dibantu oleh rekan kerjanya, tetapi sebagian besar harus ia pelajari sendiri.
Setiap hari, ia membawa pulang dokumen medis dan menulis ulang penjelasan tentang prosedur, seperti operasi double eyelid, termasuk risiko dan langkah-langkahnya.
Menurutnya, dengan menulis, ia bisa lebih cepat memahami istilah-istilah yang sulit.
Butuh waktu sekitar dua tahun hingga ia benar-benar merasa nyaman menggunakan Bahasa Jepang dalam lingkungan kerja profesional.
Sebagai video creator, tugas Dewi jauh melampaui sekadar merekam dan mengedit.
Ia merancang konsep, menyusun jadwal pengambilan gambar, melakukan shooting, mengedit video, membuat thumbnail, hingga mengunggah ke YouTube dan situs resmi klinik.
Pada awalnya, Dewi bekerja bersama seorang senior.
Namun setelah enam bulan, rekan kerjanya cuti melahirkan sehingga selama tiga hingga empat tahun, Dewi mengerjakan semua proses produksi sendiri.
Di masa itu, belum banyak teknologi bantu seperti sekarang. Ia belajar desain grafis dan membuat catch copy (kalimat pendek promosi) dalam Bahasa Jepang secara mandiri.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena gaya komunikasi visual Jepang sangat khas dan sulit dipahami oleh orang asing.
Tugas Dewi tidak hanya membuat video yang menarik, melainkan juga memastikan semua konten mematuhi aturan hukum promosi klinik kecantikan di Jepang.
Di sana, regulasinya sangat ketat. Setiap video harus menampilkan informasi yang jujur dan tidak berlebihan.
Before-after tidak boleh diedit atau dimanipulasi. Tekstur kulit pasien harus tetap tampak alami dan hasil operasi tidak boleh dibuat dramatis.
"Setiap kita bikin video itu kan kasih before-after-nya. Di before-after-nya itu pasti selalu harus kasih kata-kata risikonya apa gitu," ujar Dewi kepada Ohayo Jepang melalui sambungan telepon, (19/6/2025).
Bahkan, dokter tidak boleh mengklaim sebagai “yang terbaik” atau “nomor satu.”
Gambar before-after juga tidak boleh ditampilkan di halaman utama situs (landing page).
Jika melanggar, otoritas kesehatan bisa mengirim teguran dan meminta agar bagian video tertentu dihapus.
Dewi wajib mempelajari langsung dokumen hukum resmi yang dibagikan oleh perusahaan.
Klinik tempatnya bekerja memberikan pelatihan khusus mengenai pedoman dari Dinas Kesehatan Publik Jepang.
Ia harus memastikan naskah, visual, hingga susunan teks dalam video mengikuti standar hukum.
"Ada Hokenjo namanya. Itu kayak yang dinas kesehatan publik. Mereka itu yang mengatur guideline untuk promosi," kata perempuan yang tinggal di Jepang sejak 2008 ini.
Meski awalnya sempat ragu dan nyaris menyerah, lulusan sekolah kejuruan di Jepang ini justru bertahan selama 13 tahun sebagai video creator.
Baginya, pekerjaan ini bukan hanya soal teknis produksi, tapi juga proses belajar yang terus berkembang.
Ia melihat secara langsung bagaimana operasi plastik di Jepang membantu pasien mendapatkan kembali kepercayaan diri.
Ada yang dulunya sering dirundung karena bentuk wajah, ada pula yang merasa tidak nyaman dengan penampilan mereka.
Setelah operasi, ekspresi mereka berubah. Dewi menyaksikan sendiri bagaimana kualitas hidup pasien meningkat.
Hal itu menjadi salah satu alasan terbesarnya bertahan. Ia merasa pekerjaannya bermakna.
Kini, Dewi sedang menikmati masa liburannya di Indonesia sebelum kembali ke Jepang pada pertengahan tahun ini.
Dewi ingin membuka jalan baru bagi orang Indonesia yang ingin merasakan layanan kecantikan berstandar Jepang dengan pengalaman yang ia miliki.
View this post on Instagram