Butuh waktu sekitar dua tahun hingga ia benar-benar merasa nyaman menggunakan Bahasa Jepang dalam lingkungan kerja profesional.
Sebagai video creator, tugas Dewi jauh melampaui sekadar merekam dan mengedit.
Ia merancang konsep, menyusun jadwal pengambilan gambar, melakukan shooting, mengedit video, membuat thumbnail, hingga mengunggah ke YouTube dan situs resmi klinik.
Pada awalnya, Dewi bekerja bersama seorang senior.
Namun setelah enam bulan, rekan kerjanya cuti melahirkan sehingga selama tiga hingga empat tahun, Dewi mengerjakan semua proses produksi sendiri.
Di masa itu, belum banyak teknologi bantu seperti sekarang. Ia belajar desain grafis dan membuat catch copy (kalimat pendek promosi) dalam Bahasa Jepang secara mandiri.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena gaya komunikasi visual Jepang sangat khas dan sulit dipahami oleh orang asing.
Tugas Dewi tidak hanya membuat video yang menarik, melainkan juga memastikan semua konten mematuhi aturan hukum promosi klinik kecantikan di Jepang.
Di sana, regulasinya sangat ketat. Setiap video harus menampilkan informasi yang jujur dan tidak berlebihan.