Ohayo Jepang
Powered by

Share this page

Fakta & Data

Sekolah Gratis di Jepang, SMA Negeri Kalah Saing dengan SMA Swasta?

Kompas.com - 19/06/2025, 14:17 WIB

Kebijakan sekolah gratis di Jepang mulai diterapkan oleh Pemerintah Jepang baik untuk sekolah menengah atas (SMA) negeri dan swasta.

Namun, para pendidik dan ahli pendidikan menilai kebijakan ini bisa menimbulkan dampak negatif.

Salah satunya adalah kemungkinan semakin banyak siswa yang memilih pindah ke sekolah swasta karena tidak lagi dibatasi oleh biaya.

Sekolah Negeri Hadapi Tekanan Baru

Sejumlah sekolah negeri di Jepang kini mulai merasakan dampak dari kebijakan sekolah gratis tersebut.

Banyak dari mereka mengalami penurunan jumlah pendaftar dan kekurangan anggaran.

Padahal, sekolah negeri selama ini telah berupaya beradaptasi dengan berbagai perubahan sosial.

Beberapa di antaranya seperti meningkatnya kasus perundungan, ketidakhadiran siswa, hingga kebutuhan akan pendekatan belajar yang lebih personal.

Contohnya dapat dilihat di sebuah SMA negeri di daerah pegunungan pinggiran Tokyo.

Di SMA Negeri Metropolitan Itsukaichi ini, guru Bahasa Inggris bernama Shunsuke Nakamura mengajar dengan pendekatan langsung dan aktif. 

Ia mengajak siswa berdiri, berinteraksi, serta saling mewawancarai dalam Bahasa Inggris agar mereka lebih percaya diri.

“Meski membuat beban kerja guru bertambah, saya tetap berusaha memberikan perhatian dan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa,” ujar Nakamura.

Ia percaya bahwa semangat belajar bisa tumbuh ketika siswa saling memberi inspirasi.

Sekolah tersebut memiliki sekitar 260 siswa, termasuk anak-anak dengan disabilitas perkembangan dan siswa dari keluarga berpenghasilan rendah.

Sebagian siswa hanya dapat mengikuti kelas malam di SMA ini.

Baca juga:

Seifuku, seragam sekolah di Jepang.
Seifuku, seragam sekolah di Jepang.

Potensi Sekolah Negeri Tak Tersampaikan dengan Baik

Kepala sekolah, Mariko Matsuzaki, mengakui bahwa sekolahnya memiliki kekhasan tersendiri.

Mereka menawarkan program pembelajaran berbasis alam yang memanfaatkan sumber daya lembah sekitar. Sayangnya, keunggulan ini belum dikenal luas.

“Kami bekerja sama dengan komunitas lokal dalam kegiatan pendidikan, tetapi masyarakat sekitar belum sepenuhnya mengenali ciri khas sekolah ini,” ujarnya.

Kondisi serupa juga terjadi di SMA Negeri Metropolitan Kokusai, yang berlokasi dekat Shibuya, Tokyo.

Sekolah ini menerima siswa dari berbagai latar belakang.

Sekitar sepertiga dari total 715 siswanya merupakan anak-anak warga Jepang yang baru kembali dari luar negeri atau warga asing.

Di sekolah ini, keragaman budaya terlihat dalam keseharian.

Dalam acara tahunan sekolah, para siswa menampilkan pidato dalam Bahasa Inggris, serta presentasi dalam Bahasa Mandarin, Prancis, Jerman, Korea, dan Spanyol.

Semua bahasa tersebut merupakan bagian dari kurikulum resmi.

Guru Bahasa Inggris Haruki Honma mengatakan bahwa suasana belajar yang inklusif dan multikultural menjadi kekuatan sekolah ini.

“Setiap hari terasa seperti pertukaran budaya internasional. Siswa belajar langsung dari teman-temannya yang berasal dari berbagai negara dan budaya,” ujarnya.

Ilustrasi ruang kelas di SMA Jepang.
Ilustrasi ruang kelas di SMA Jepang.

Kebijakan Terburu-buru Tanpa Dukungan Tambahan

Kebijakan sekolah gratis mulai mendapatkan momentum pada akhir 2024.

Saat itu, partai koalisi pemerintahan yang dipimpin Partai Demokrat Liberal (LDP) sepakat dengan Partai Inovasi Jepang (JIP) untuk menggratiskan biaya SMA sebagai syarat agar RUU Anggaran 2025 disetujui parlemen.

Mulai tahun ajaran 2026, pemerintah akan menghapus batas penghasilan untuk keluarga yang ingin menyekolahkan anaknya di SMA swasta.

Subsidi maksimal juga akan ditingkatkan hingga 457.000 yen (sekitar Rp 48 juta), mendekati rata-rata biaya sekolah swasta.

Sementara itu, untuk SMA negeri, kebijakan tanpa batas penghasilan ini sudah berlaku sejak tahun fiskal 2025.

Saat ini, keluarga dengan penghasilan di bawah 9,1 juta yen per tahun mendapat bantuan biaya sekolah sebesar 118.800 yen.

Sementara itu, keluarga yang berpenghasilan di bawah 5,9 juta yen bisa menerima hingga 396.000 yen jika menyekolahkan anaknya di SMA swasta.

Namun, para pengamat menilai bahwa diskusi pemerintah terlalu fokus pada beban keuangan rumah tangga.

Dampak jangka panjang terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan belum banyak dibahas.

“Sekolah negeri ditekan untuk menarik lebih banyak siswa, tetapi tidak diberikan tambahan anggaran atau tenaga pengajar,” kata Hideyuki Konyuba, profesor kebijakan pendidikan dari Universitas Teikyo.

Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu menyediakan sumber daya tambahan berupa dana dan guru, agar sekolah negeri bisa bersaing secara adil dengan sekolah swasta.

“Negara juga harus memiliki visi jangka panjang untuk sistem SMA di Jepang. Meski tidak wajib secara hukum, hampir 99 persen lulusan SMP di Jepang melanjutkan ke jenjang SMA. Artinya, pendidikan ini sudah menjadi kebutuhan sosial yang nyaris wajib,” ujarnya.

          View this post on Instagram                      

A post shared by Ohayo Jepang (@ohayo_jepang)

Halaman:
Editor : YUHARRANI AISYAH

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
 
Pilihan Untukmu
Close Ads

Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.