Bapak-bapak di Jepang biasanya memberikan seluruh pendapatan mereka kepada istri. Nantinya, para suami bakal mendapatkan uang saku bulanan yang disebut okozukai.
Melansir Japan Times (5/7/2011), istilah okozukai sering diterjemahkan sebagai uang saku atau uang jajan.
Namun, intinya adalah uang ini diberikan oleh pihak yang secara implisit memegang kendali penuh atas keuangan keluarga.
Uang okozukai ini biasanya dihabiskan suami untuk keperluan pribadi, misalnya untuk minum-minum sepulang kerja bersama rekan.
Menariknya, berbagai analisis survei menunjukkan bahwa dengan sistem ini, keluarga bisa lebih hemat karena suami jadi lebih sedikit mengeluarkan uang untuk makan siang dan kegiatan tersebut.
Jumlah uang saku bulanan bagi suami cukup beragam tergantung pada kebutuhan dan kebijakan rumah tangga masing-masing.
Namun, menurut hasil survei dari sebuah perusahaan asuransi di Jepang Sony Life Insurance Co., rata-rata uang saku bulanan yang dihabiskan orang dewasa di Tokyo mencapai 37.650 yen atau sekitar Rp 4,2 juta-an.
Survei yang dirilis pada Desember 2024 ini juga menunjukkan bahwa orang dewasa di Prefektur Kanagawa menghabiskan 31.450 yen atau sekitar Rp 3,5 juta-an untuk uang bulanan mereka.
Melansir The Mainichi (10/1/2025), suami dan individu lain di Prefektur Gunma membutuhkan 30.650 yen atau sekitar Rp 3,4 juta-an untuk uang bulanan mereka.
Tiga prefektur tersebut berada di posisi puncak.
Menurut survei daring yang melibatkan total 4.700 orang berusia 20 hingga 59 tahun itu, pengeluaran uang saku bulanan termasuk untuk makan siang.
Baca juga:
Sistem uang saku bulanan untuk suami atau bapak-bapak di Jepang telah mengakar dalam budaya Jepang.
Pasalnya, sejak sekitar abad ke-12, perempuan Jepang secara tradisional memegang kendali penuh atas keuangan rumah tangga, terlepas dari status pekerjaan mereka.
Pada pertengahan 1970-an saja, sekitar 97 persen ibu rumah tangga di perkotaan dan 66 persen di pedesaan Jepang sudah mengelola anggaran rumah tangga.
Praktik ini sedikit menurun, tetapi pada 2019, lebih dari 50 persen rumah tangga masih setia dengan sistem pengelolaan keuangan tradisional ini.
Penemuan itu disampaikan pada jurnal Advances in Life Course Research berjudul "Money management over the course of marriage: Parenthood, employment and household financial organization in Japan" (2023) oleh Çineli dan Mugiyama.
Angka ini menunjukkan betapa kuatnya tradisi ini bertahan hingga saat ini.
Menambahkan dari Statista, sebuah survei pada Juli 2022 terhadap para istri di Jepang mengungkap bahwa lebih dari 62 persen responden merasa merekalah yang paling bertanggung jawab dalam merencanakan anggaran rumah tangga.
Sementara itu, sekitar 23 persen responden saja yang mengaku membuat keputusan anggaran bersama pasangan mereka.
Dalam budaya Jepang, mengelola keuangan rumah tangga sering dipandang sebagai tugas perempuan, bagian tak terpisahkan dari peran seorang istri, ibu, dan pengatur rumah.
Penelitian menunjukkan bahwa kehadiran anak-anak di rumah tangga justru makin memperkuat sistem pengelolaan uang oleh pihak perempuan.
Namun, pada pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja, peran perempuan dalam mengelola keuangan cenderung sedikit berkurang.
Meskipun sistem okozukai masih dominan, ada gelombang baru yang mulai terlihat sejak 2005.
Sistem pengelolaan uang alternatif seperti partial pooling (penggabungan sebagian) dan pengelolaan independen mulai menunjukkan peningkatan.
Hal itu memberi sinyal bahwa peran perempuan sebagai manajer keuangan rumah tangga di Jepang mulai sedikit bergeser.
Sebagai contoh, dalam sistem parsial ini, pasangan Jepang yang punya rekening bank bersama tetap memiliki dompet terpisah.
Jadi, meskipun ada dana yang digabungkan, masih ada bagian yang dikelola secara pribadi. Pergeseran ini bisa jadi cerminan adaptasi terhadap gaya hidup modern.
Mengelola keuangan rumah tangga rupanya menjadi sumber stres utama bagi pasangan berusia 30 tahun sampai 40 tahun di Jepang menurut hasil survei bank di Jepang, Sony Bank, pada Februari 2023.
Sebanyak 57,2 persen responden merasakan stres "sangat" atau "agak" karena masalah keuangan; seperti melansir Nippon.com (22/3/2023).
Dari jumlah tersebut, terdapat 56,8 persen responden mengatakan pernah berselisih paham dengan pasangan soal keuangan rumah tangga.
Penyebab utamanya adalah tidak punya cukup tabungan dan pengeluaran terlalu besar dibanding pendapatan.
Sumber:
View this post on Instagram