Eka yang bekerja di Tokyo selama enam tahun, mendapatkan ruang shalat di tempat kerjanya setelah berbicara dengan atasan.
Di perusahaan tempat Eka bekerja sekarang, ruang shalat yang ia gunakan awalnya adalah ruangan kosong yang sebelumnya tidak memiliki fungsi tertentu.
Ruangan tersebut digunakan untuk menyimpan barang-barang seperti lemari dan peralatan lainnya.
"Nah, terus dibilang, kamu kalau misalkan shalat di sini mau gak? Oh, mau banget. Terus, oh yaudah nanti dibersihin gitu kata sachou," ujar Eka.
Sachou atau presiden perusahaan menawarkan ruangan tersebut kepada Eka setelah sebelumnya ia berbicara dengan atasannya mengenai kebutuhan tempat shalat.
Setelah ruangan dibersihkan, ia diberikan matras untuk alas shalat.
"Kalau misalkan enggak ada matras, kamu enggak apa-apa bawa matras sendiri? Ditanya gitu. Aku jawab enggak apa-apa. Saya sudah bawa sajadah sendiri. Nah, ternyata dikasih juga itunya, kayak handuk dari pesawat gitu. Terus di atasnya itu saya taruh sajadahnya," papar pria yang bekerja sebagai international sales specialist itu.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa perusahaan di Jepang bisa memberikan ruang ibadah bagi karyawan Muslim jika ada komunikasi yang jelas.
Eka menekankan pentingnya meminta secara langsung, karena jika tidak disampaikan, perusahaan tidak akan tahu bahwa karyawan Muslim membutuhkan ruang shalat.
Sementara itu, Aya, seorang Muslim yang sedang menjalani tahun ke-7 di Jepang, menghadapi tantangan berbeda.
Tidak ada kebijakan khusus bagi Muslim yang berpuasa, termasuk tidak adanya musala di tempat kerjanya di Namegata, Prefektur Ibaraki.
Namun, perusahaan memberikan fleksibilitas agar ia bisa menjalankan shalat dengan nyaman.
"Aku bisa shalat Zuhur saat istirahat makan siang selama satu jam. Selain itu, ada istirahat 10 menit sekitar jam tiga sore, ditambah 5 menit ekstra khusus untuk shalat Ashar," jelasnya.
Aya menggunakan ruang meeting yang bersih sebagai tempat shalat.
Baca juga:
Menjalani puasa di lingkungan kerja Jepang memberikan pengalaman tersendiri bagi Eka dan Aya.
Di tempat Eka bekerja, rekan-rekannya menunjukkan rasa hormat dan bahkan terkadang berbagi informasi yang mereka ketahui tentang Islam.
Ia merasa beruntung bekerja di lingkungan suportif, rekan kerja menghormati keyakinannya dan menciptakan suasana kerja yang nyaman.
Sementara itu, Aya sering mendapat pertanyaan dari rekan-rekannya yang tidak familiar dengan Ramadhan.
Saat pertama kali menjalani puasa di tempat kerja, rekan-rekannya bertanya-tanya mengapa ia tidak ikut makan siang.
"Awalnya mereka tanya, ‘Kok enggak makan siang?’, lama-lama paham kalau aku lagi puasa," katanya.
Namun, setiap tahun pertanyaan yang sama selalu muncul, terutama tentang larangan makan dan minum selama berpuasa.
"Setiap tahun pasti ada yang bertanya, ‘Serius, air juga enggak boleh?’ atau ‘Kenapa dihukum sama Tuhan?’" ujar Aya sambil tertawa kecil.
Ia selalu berusaha menjelaskan bahwa puasa bukanlah hukuman, melainkan bagian dari ajaran Islam yang sudah biasa dilakukan sejak kecil.
Demi menjawab rasa penasaran mereka, ia pernah mengutip penelitian kesehatan dari ilmuwan Jepang tentang manfaat puasa bagi tubuh.
Bos Aya yang sudah sering bepergian ke luar negeri cukup memahami puasa Ramadhan.
Bahkan, setelah tahu tentang puasa, bosnya selalu mengucapkan selamat Ramadhan setiap tahun.
“Kadang ibunya bos juga kasih makanan buat aku, rasanya dihargai banget,” ujar marketing di perusahaan manufaktur itu.
Selain itu, saat ada tamu yang datang ke kantor, seperti biasa, kopi disajikan sebagai bagian dari jamuan.
Namun, Aya tidak minum karena sedang berpuasa. Tanpa diminta, bosnya langsung memberi tahu tamu tersebut, "Aya sedang puasa Ramadhan."
Baginya, hal sederhana itu terasa sangat berarti.
Baca juga:
View this post on Instagram