Melansir Asahi Shimbun pada Kamis (16/1/202), program subsidi ini pertama kali diperkenalkan pada Januari 2022 sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meredam kenaikan harga bahan bakar.
Jepang mengalokasikan lebih dari 6 triliun yen (Rp 650 triliun-an) dari total anggaran 8,17 triliun yen (Rp 880 triliun-an) untuk program tersebut.
Sebelumnya, jika harga bensin melebihi 168 yen (Rp 18.000-an) per liter, pemerintah menanggung 60 persen selisih antara harga dasar dan harga di SPBU hingga batas 185 yen (Rp 20.000-an) per liter.
Namun, subsidi ini dikurangi menjadi 30 persen.
Pemerintah kini tidak lagi memberikan subsidi untuk harga bensin hingga 185 yen (Rp 20.000-an) per liter.
Namun, subsidi tetap diberikan untuk harga yang melebihi angka tersebut.
Masih dari Asahi Shimbun, pelanggan bergegas mengisi bahan bakar sebelum harga naik di sejumlah SPBU di Jepang.
Beberapa pengelola SPBU juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa harga yang lebih tinggi dapat menyebabkan penurunan penjualan.
Meski subsidi mendapat dukungan publik, beberapa ahli menilai kebijakan ini tidak berkelanjutan.
Takahide Kiuchi, ekonom eksekutif di Nomura Research Institute Ltd., menyebut bahwa subsidi ini membebani keuangan pemerintah dan menghambat upaya dekarbonisasi.