Jepang, negara yang identik dengan kemajuan teknologi, ternyata masih mempertahankan kebiasaan tradisional salah satunya menggunakan dokumen cetak dalam urusan pekerjaan.
Setidaknya, itulah yang berlaku di perusahaan manufaktur tempat Aya, diaspora Indonesia, bekerja.
Bukan tanpa alasan, penggunaan dokumen cetak ini telah menjadi tradisi perusahaan selama sekitar 50 tahun, setidaknya yang diketahui Aya.
Di samping itu, pekerja di sini rata-rata berusia 40 hingga 50 tahun. Mereka sudah terbiasa menggunakan kertas untuk pencatatan operasional dan keperluan kerja lain.
Hal itu masih dipertahankan karena mendukung koordinasi dan kepuasan pelanggan.
Selain itu, demi memastikan semua pihak memahami catatan dengan jelas dan meminimalkan miskomunikasi.
Proses ini memang membutuhkan waktu, tetapi dianggap paling efektif, terutama untuk menjaga detail pesanan pelanggan.
Aya, sebagai pekerja yang tergolong masih muda pun membiasakan diri dengan kebiasaan penggunaan dokumen cetak.
“Aku pernah ditugaskan mengurus dokumen cetak dari berbagai divisi dalam beberapa waktu terakhir. Jadi aku harus mengurutkan kertas-kertas itu dan itu cukup banyak ya. Aku berhasil melakukannya tapi itu hal yang enggak biasa aja buatku," jelas marketing di perusahaan itu kepada Ohayo Jepang pada Minggu (19/1/2025).
Tugas itu ia lakukan sekitar 6 tahun lalu, ketika Aya awal bekerja di perusahaan di Prefektur Ibaraki itu.
Saat sudah resmi menangani divisi marketing sampai sekarang, urusan internalnya tidak lagi menggunakan kertas.
Tidak hanya untuk operasional sehari-hari, sistem berbasis kertas juga digunakan dalam pengajuan cuti.
“Kalau ngajuin cuti, karyawan harus isi formulir kertas. Jadi, semua permohonan cuti dicatat manual di formulir itu,” kata Aya.
Meskipun cara ini tampak kuno, tetapi tetap diterapkan untuk memastikan semua informasi terdokumentasi dengan baik dan mudah diakses oleh pihak terkait.
Baca juga:
Walau tradisi penggunaan dokumen cetak sudah dilakukan puluhan tahun, perlahan namun pasti perusahaan mulai melakukan transisi ke sistem digital.
Langkah ini membawa efisiensi, tetapi menghadapi tantangan, terutama dari karyawan yang sudah lama terbiasa dengan metode tradisional.
“Baru dua-tiga tahun terakhir perusahaan mulai beralih ke sistem digital. Tapi, ada komplain dari pekerja senior yang merasa kesulitan menggunakan teknologi baru,” kata Aya.
Hal serupa juga terjadi pada proses administratif lainnya, seperti mengisi formulir pengajuan pengembalian pajak yang sebelumnya sepenuhnya berbasis kertas.
Perubahan ke sistem digital mendapat reaksi beragam, terutama dari generasi lebih tua yang merasa perlu beradaptasi.
“Aku sekarang bekerja di bagian yang hampir semuanya sudah digital. Tapi untuk hal-hal tertentu, seperti pengajuan cuti, kami masih menggunakan formulir kertas,” pungkasnya.
Dari sini, terlihat bahwa Jepang juga masih mempertahankan cara tradisional karena dinilai paling efektif untuk operasional pekerjaan.
Namun, mereka juga tak menutup mata akan perkembangan digital.
Bagi kamu yang berencana bekerja di Jepang, jangan lupa buat mempelajari cara kerja di Jepang ya!
View this post on Instagram