Ketika Obon tiba pada pertengahan Agustus, masyarakat bisa merasakan aroma gandum baru yang segar untuk membuat ude manjuu.
Nama ude manjuu sendiri merupakan pergeseran pelafalan dari “yude manjuu” yang berarti manjuu rebus.
Dalam praktiknya, ude manjuu ada yang dibuat hanya dari adonan tepung tanpa isian, ada pula yang diisi pasta kacang merah manis atau anko.
Variasi ini tergantung pada kebiasaan keluarga maupun daerah, menjadikan kudapan ini fleksibel dalam penyajiannya.
Hingga kini, ude manjuu tetap dianggap sebagai simbol hasil bumi sekaligus warisan tradisi di Saitama.
Ude manjuu tidak hanya dimakan sehari-hari, tetapi juga hadir dalam berbagai perayaan tradisional.
Kue ini sering dipersembahkan kepada leluhur saat Obon, momen penting bagi masyarakat Jepang untuk menghormati arwah keluarga.
Selain itu, ude manjuu juga disajikan pada O-higan, sebuah perayaan yang berhubungan dengan perubahan musim dan hari khusus para petani.
Tradisi ini berlanjut pada berbagai hari raya lain seperti Tanabata, Jugoya atau bulan purnama musim gugur, serta Jūsannya atau malam ke-13.
Di wilayah yang terkenal dengan budidaya ulat sutra, ude manjuu juga disajikan ketika ulat sutra berubah menjadi kepompong.