Menjadi cosplayer bukan hanya soal mengenakan kostum mahal atau lengkap dengan properti rumit.
Hilky, seorang eks cosplayer asal Malang, menegaskan bahwa hal terpenting dari seorang cosplayer adalah kemampuan menghidupkan dan mendalami karakter yang diperankan, bukan sekadar tampilan fisik.
Menurut pria yang bergabung dengan komunitas cosplay di Kota Malang Cosuki pada 2009 itu, pendalaman karakter bisa terlihat dari mimik wajah, gerakan, hingga sikap.
Penonton ingin bisa merasakan kehadiran karakter tersebut secara nyata.
“Karena orang-orang pengin ketika melihat cosplayer, pengin melihat secara penuh gitu. Bukan yang kostumnya saja bagus, penampilannya bagus, tapi tingkahnya enggak sesuai,” ungkap Hilky kepada Ohayo Jepang, Jumat (23/5/2025).
Di balik peran yang hidup itu, ada tantangan tersendiri, terutama soal biaya pembuatan kostum yang bisa cukup besar.
Hilky mulai menekuni hobi tersebut sekitar 2009–2010, masa ketika biaya yang dikeluarkan untuk cosplay tergolong cukup menguras kantong.
“Kalau untuk spending kostum ya, kalau dulu sih aku pernah beli sendiri itu sekitar Rp 400.000 sampai Rp 500.000,” ujarnya .
Jika kostumnya penuh properti dan detail rumit, biayanya bisa mencapai jutaan rupiah.
Pria berusia 31 tahun ini kini lebih aktif sebagai panitia di berbagai event cosplay.
Meski tak lagi terlibat langsung sebagai cosplayer, ia kerap melihat teman-temannya mengenakan kostum seharga Rp 4 juta sampai Rp 5 juta.
“Biaya kostum Rp 4 sampai Rp 5 jutaan yang sering di event, ya. Tapi mungkin bisa jadi lebih juga karena enggak tahu angka pastinya. Tapi yang pasti jutaan sih,” ujarnya.
Kostum karakter seperti robot dalam anime, terutama jenis mecha yang memiliki elemen dengan bagian yang bisa bergerak, biasanya menghabiskan biaya cukup tinggi.
Ia meyakini bahwa komunitas pencinta cosplay di Tanah Air akan terus beregenerasi sehingga cosplay akan tetap eksis dan berkembang ke depannya.
“Kalau aku lihat kayak fans, peminat, orangnya akan beregenerasi. Dan selama itu ada, budayanya akan terus ada, apalagi komunitas-komunitas,” ujar Hilky.
“Semakin ke sini, ada media sosial, jadi lebih mudah untuk menyebar. Jadi orang-orang yang baru akan terus datang,” lanjutnya.
Sementara itu, pakar budaya Hikmat Darmawan menjelaskan bahwa komunitas cosplay di Indonesia mencerminkan bentuk tribalisme.
Munculnya rasa memiliki dan keterikatan yang kuat ketika seseorang bergabung dengan kelompok yang memiliki minat dan identitas serupa.
“Meski terlihat seperti ekspresi individu, sebenarnya mereka lebih kuat karena adanya rasa kebersamaan. Dari sudut pandang saya, unsur tribalisme ini cukup terasa,” ungkap Hikmat kepada Ohayo Jepang, Jumat (23/5/2025).
Hikmat menambahkan bahwa ikatan dalam komunitas cosplay bukan hanya didasarkan pada hobi yang sama, tetapi juga pada rasa saling mendukung dalam berekspresi.
Baca juga:
(KOMPAS.COM/FAESAL MUBAROK)
View this post on Instagram