Ohayo Jepang
Powered by

Share this page

Worklife

Ternyata Ini Perbedaan Petani di Jepang dan Indonesia

Kompas.com - 26/05/2025, 18:45 WIB

Petani asal Indonesia di Jepang, Lina Rokayah yang kerap disapa Teh Rina, menceritakan perbedaan menjadi petani di Jepang dengan di Indonesia.

Berdasarkan pengalamannya sebagai petani di Jepang selama lebih dari 20 tahun, Rina menilai bahwa perbedaan paling mencolok terletak pada pemahaman petani Jepang terhadap diversifikasi produk hasil panen.

Mayoritas petani di Jepang menciptakan merek sendiri untuk hasil panen mereka.

Mereka menonjolkan keunikan dan ciri khas dari setiap produk pertanian yang dihasilkan.

Matsubara Farm milik Rina dan suaminya mempunyai produk unggulan berupa daun bawang.

Sayur tersebut dipasarkan dalam kondisi sudah dibersihkan, dikemas rapi, dan diberi label merek sendiri.

“Jadi kebanyakan petani di Jepang itu tidak hanya menanam, merawat, dan memanen, tapi mereka bisa sampai menghasilkan suatu bentuk nilai produknya lebih tinggi,” ujarnya kepada Ohayo Jepang, Selasa (20/5/2025).

“Teteh tidak menjual bawang daun itu begitu saja, tapi diproses dulu, dibersihin, dikupas sampai rapi, di-packing,” tambahnya.

Namun, petani di Indonesia cenderung menjual hasil panen mentah tanpa mendiversifikasinya.

Baca juga:

Daun bawang merupkan produksi unggulan Matsubara Farm milik petani Jepang asal Indonesia, Lina Rokayah, dan suaminya.
Daun bawang merupkan produksi unggulan Matsubara Farm milik petani Jepang asal Indonesia, Lina Rokayah, dan suaminya.

Selain itu, Rina menjelaskan bahwa untuk menjadi petani di Jepang prosesnya tidak mudah.

Warga yang berminat pada sektor pertanian, harus melalui proses pelatihan yang rumit terlebih dahulu.

Setiap calon petani di Jepang akan dilatih menjadi petani profesional di bidangnya masing-masing.

Misalnya, jika kamu memiliki minat pada stroberi, maka kamu akan fokus pada varietas itu saja.

Hal ini juga yang dilakoni Rina yang sudah menggeluti varietas daun bawang selama puluhan tahun.

“Teteh merasakan menjadi petani yang istilahnya punya keahlian di satu bidang memang prosesnya ternyata tidak semudah apa yang kita pikirkan ya. Kayak daun bawang, Teteh juga berkecimpung di daun bawang berpuluh-puluh tahun,” ungkapnya.

Pelatihan bagi petani di Jepang umumnya berlangsung selama tiga tahun.

Tujuannya membentuk sumber daya manusia (SDM) yang profesional dan terampil di bidang pertanian.

Selain itu, Jepang sejak lama mengadopsi teknologi pertanian, yang berperan besar dalam meningkatkan baik kuantitas maupun kualitas hasil produksi.

“Kalau di Jepang teknologinya ya lebih banyak menggunakan alat-alat yang lumayan sudah maju,” ujarnya.

Sebagai perbandingan, aktivitas pertanian masih banyak dilakukan secara tradisional di sejumlah daerah di Indonesia.

Petani di daerah ini umumnya mengandalkan metode turun-temurun.

Contohnya; pengolahan tanah secara manual, penanaman tanpa pola rotasi yang terencana, serta penggunaan alat sederhana dan teknologi yang terbatas.

(KOMPAS.COM/FAESAL MUBAROK)

          View this post on Instagram                      

A post shared by Ohayo Jepang (@ohayo_jepang)

Halaman:
Editor : YUHARRANI AISYAH

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
 
Pilihan Untukmu
Close Ads

Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.