Sementara sebagian orang mengubah destinasi liburannya, sebagian lainnya “tidak berani bepergian,” kata Chow.
Gempa ringan hingga sedang memang umum terjadi di Jepang, yang menerapkan aturan bangunan ketat guna meminimalkan kerusakan, bahkan dari guncangan besar.
Sebaliknya, gempa sangat jarang dirasakan di Hong Kong. Namun menurut Chow, sebagian masyarakat mudah percaya pada disinformasi.
Baca juga:
Pada April lalu, Kantor Kabinet Tokyo menyampaikan melalui platform media sosial X bahwa prediksi gempa tidak bisa dilakukan secara akurat.
“Memprediksi gempa berdasarkan tanggal, waktu, dan tempat tidak mungkin dilakukan dengan pengetahuan ilmiah saat ini,” tulis unggahan tersebut.
AFP bahwa unggahan itu merupakan bagian dari penyebaran informasi rutin mengenai gempa.
Asahi Shimbun melaporkan bahwa pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas banyaknya ramalan yang beredar di dunia maya. Ramalan-ramalan ini muncul setelah sebuah panel pemerintah Jepang pada Januari merilis estimasi baru mengenai kemungkinan terjadinya “gempa besar”.
Panel tersebut menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya gempa dahsyat di sepanjang Palung Nankai di wilayah selatan Jepang dalam 30 tahun ke depan meningkat sedikit, menjadi 75–82 persen.
Estimasi ini diikuti oleh proyeksi dampak terbaru dari Kantor Kabinet pada Maret, yang menyebutkan bahwa gempa dan tsunami besar di Palung Nankai bisa menyebabkan hingga 298.000 kematian di Jepang.
Meski merupakan pembaruan rutin dari proyeksi tahun 2014, estimasi tersebut tampaknya telah memicu kekhawatiran di kalangan wisatawan.