Setiap pulang kerja, Widy selalu menyempatkan diri untuk menghubungi keluarganya.
Bukan hanya sekadar melepas rindu, melainkan juga memastikan bahwa mereka baik-baik saja di Indonesia.
"Kalau harus memilih antara chat atau video call, aku lebih suka video call karena lebih terasa kalau bisa melihat wajah mereka dan memastikan mereka sehat. Biasanya, kami melakukannya pada malam hari, tapi kadang juga kapan saja. Tergantung siapa yang duluan ingin ngobrol atau melihat satu sama lain," ujar Widy dengan tatapan hangat.
"Kami ngobrol tentang banyak hal, kadang bahkan hal kecil seperti 'Gimana ayam-ayam di rumah?' atau 'Bagaimana kabar usaha di sana?’" lanjutnya.
Percakapan sederhana ini menjadi pengingat bahwa ada rumah yang selalu menunggunya.
Tempat ia tetap menjadi bagian penting, meskipun kini tinggal jauh dari keluarga.
Baca juga:
Tinggal di Jepang mengajarkan Widy banyak hal, termasuk bagaimana menciptakan kenyamanan di tempat yang awalnya terasa asing.
Membawa sedikit elemen dari rumah menjadi caranya untuk bertahan.
"Makanan adalah hal pertama yang aku ubah. Masakan di sini rasanya berbeda, jadi aku belajar memasak sendiri dengan resep dari ibu. Memang enggak bisa sama persis, tapi cukup membantu mengobati rasa kangen. Selain itu, aku selalu membawa selendang batik dari Indonesia yang sudah menemaniku sejak kecil. Rasanya ada yang kurang kalau tidur tanpa itu," kata Widy dengan tawa kecil.
Di kamarnya, selalu ada stok camilan Indonesia yang ia beli dari toko khusus atau dibawa saat pulang ke Tanah Air.
Camilan ini menjadi pengobat rindu yang sederhana, tetapi sangat berarti.
Tak bisa dipungkiri, ada saat rasa rindu menjadi begitu menyiksa.
Ada keinginan pulang, kembali menjalani rutinitas lama yang terasa lebih hangat dan akrab. Namun, bagi Widy, rindu bukanlah alasan untuk menyerah.
"Iya, kalau aku enggak bisa video call atau ngobrol dengan mereka saat ingin, rasanya enggak enak. Susah dijelaskan, tapi aku jadi susah tidur. Tapi aku enggak sampai merasa terpuruk, karena aku tahu setelah kerja aku bisa menghubungi mereka. Justru, ini jadi motivasi buatku supaya kerja cepat selesai dan bisa pulang lebih cepat untuk menelepon keluarga," jelasnya.
Memandang rindu sebagai kekuatan, bukan kelemahan, adalah cara Widy untuk terus bertahan dan berkembang di negeri orang.
Terkadang, hal yang dirindukan bukan hanya keluarga, melainkan juga kebiasaan kecil yang dulu terasa biasa saja.
"Di kampung, setiap pagi aku biasa mengambil telur bebek, lalu sore harinya memberi makan ayam di rumah. Sekarang kalau dipikir-pikir, aku kangen banget sama kegiatan itu. Kadang saat video call, aku minta mereka tunjukin ayam-ayam di rumah," ujarnya dengan senyum nostalgia.
Kegiatan kecil yang dulunya dianggap sepele, kini justru menjadi hal yang paling dirindukan.
Merantau tentunya meninggalkan rumah sekaligus kebiasaan yang menjadi bagian dari diri sendiri.
Perjalanan menjadi pekerja SSW di Jepang penuh dengan tantangan sekaligus banyak pelajaran berharga.
Rindu memang tidak bisa dihindari, tetapi dengan teknologi, kebiasaan kecil, dan pola pikir positif, para pekerja migran bisa tetap bertahan dan berkembang.
"Aku percaya setiap pengalaman ini punya maknanya sendiri. Aku di sini bukan hanya untuk bekerja, tapi juga belajar dan tumbuh. Setiap hari adalah perjalanan baru yang membuatku lebih kuat," ujar Widy.
Stay tuned untuk kisah selanjutnya!
Perjalanan Widy di Jepang masih panjang, dan masih banyak tantangan serta pengalaman baru yang akan ia hadapi.
Bagaimana ia menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya? Apa saja tantangan lain yang muncul di perjalanan ini?
Nantikan kelanjutan ceritanya di SSW Series. Ohayo Jepang akan membahas lebih dalam tentang kehidupan para pekerja migran di Jepang.
Baca juga:
Konten disediakan oleh Karaksa Media Partner (Februari 2025)
View this post on Instagram